Translate

Selasa, 20 Mei 2014

OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA A. Pendahuluan Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan di negeri ini, disamping integrasi nasional, korupsi, partai politik, dan kohesi nasional. Otonomi daerah adalah sebuah proses bernegara yang tidak akan pernah tuntas dan mengalami perubahan secara terus menerus dan tidak berkesudahan. Hal ini wajar karena tuntutan-tuntutan baru akan selalu muncul sesuai kebutuhan, maupun disebabkan adanya koreksi atas kelemahan formulasi pada faktor perubahan lingkungan baik inter-nal maupun eksternal. Sadar atau tidak sesungguhnya pertumbuhan otonomi daerah di Indonesia sejak masa kemerdekaan sampai sekarang (masa reformasi) telah mengalami perubahan-perubahan secara fluktuatif (naik-turun) sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui dengan rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Melihat pertumbuhan dan perkembangannya ternyata berlang-sung tidak sesuai apa yang diinginkan para pendiri republik ini. Tentu, tidaklah mengherankan bila Bagir Manan (2004:27-29) mengatakan, “dalam tataran pelaksanaan, belum pernah otonomi dijalankan sebagaimana mestinya”,Menurut Bagir, pemerintahan pusat dan legislatif tetap gamang dan tidak tulus hati dalam merumuskan dan menjalankan arti otonomi yang sesungguhnya dengan berbagai alasan pembenaran. Peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan daerah sudah mengalami perubahan sebanyak 8 (delapan) kali 1 , sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga UU Nomor 32 Tahun 2004, hanya dalam rentang waktu 65 tahun menunjukan permasalahan otonomi daerah 1 Peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud sebanyak delapan kali mengalami perubahan itu adalah UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004. Oleh: Kustiawan Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Maritim Raja Ali Haji Abstract The issue of regional autonomy and decentralization are the most interesting problem dis-cussed in the countr.Regional autonomy is a state process that will never complete and constantly changing, which is not interminable. If we trace the development of regional au-tonomy and decentralization, it turns out the legislation on local government has changed as much as 8 (eight) times, since the Law No. 1 of 1945 to Law No. 32 of 2004. A reality that the power elite in Jakarta are not sensitive to the psycho-social atmosphere that has a significant power that resulted in the implementation of decentralization run goes false. The existence of the nation that the Law on Regional Autonomy as Law No.32 of 2004 was in many ways the logic of federalism imposed on a unitary state. Federalist forms we can trace in our state is ambiguous format. At the time of autonomy and decentralization has been implemented, our thoughts focused on issues of special autonomy in Aceh, Papua Special Autonomy, and The Special Region Yogyakarta, which is actually a real federalist form. The implementation of Special Autonomy trigger ‘jealousy’ and ‘sense of injustice’ from other areas rich in natural resources. Based on the background and the problems mentioned above, then the question can be formulated in this study as follows: Is the necessary revision of Law Number 32 Year 2004 regarding Regional Autonomy and Decentralization in order to overcome the problems of nationality in the Republic of Indonesia today?. Keywords : Regional Autonomy, Decentralization, Federalism, Local Political yang begitu kompleksitas. Pada kenyataannya desentralisasi yang menjadi lokomotif demokrasi lokal ternyata menciptakan raja-raja kecil di daerah karena pemerintahan daerah panen kekuasaan. Rakyat daerah tetap saja tidak mempunyai keleluasaan, sehingga menimbulkan ketidakadilan, kecemburuan sosial, dan pelayanan umum yang tidak maksimal. Inilah sesungguhnya yang menjadi perhatian kita bahwa ternyata logika kekuasaan pada format ketatanegaraan kita masih terjadi kerancuan-kerancuan paradigmatik yang menyebabkan kita terpaksa memerlukan format-format khusus dan istimewa pada saat otonomi daerah itu diterapkan. Realitas sosiologis bangsa Indonesia memaksa kita untuk berupaya untuk me-reformat ulang logika kekuasaan negara menyang-kut penerapan otonomi daerah yang seluas-luasnya yang benar. Logika kekuasaan bangsa Indonesia selalu mencerminkan dominasi kelompok terkuat menekan yang lemah atau sebaliknya memamerkan kekuatan daerah dengan jiwa atau semangat penaklukan. Hal ini juga bisa kita teropong melalui analisis seorang peneliti barat yang sangat kompeten dengan masalah nasionalisme Indonesia, yaitu Ben Anderson. Menurut Ben Anderson(Benedict, 1999), Nasiona-lisme Indonesia sering kali terlalu sarat dengan semangat penaklukan. Anderson menganalogkan hal ini dengan semangat yang mendasari sebuah perang terbesar dan tersistematis yang pernah dikobarkan oleh bangsa Jawa melawan Belanda: Perang Diponegoro. Semangat menaklukkan ini tampaknya masih sangat kuat mencengkeram logika politik kekuasaan di Indo-nesia hingga sekarang. Sama halnya dengan bagai-mana para pendiri negeri ini ambisius memilih berpegang tangan di atas ide negara kesatuan daripada negara federal yang kala itu hingga kini dianggap sebagai sebuah bentuk keterpecahbelahan. B. Permasalahan Berdasarkan masalah yang dipaparkan dalam latar belakang penelitian di atas, maka penulis berupaya mengidentifikasi masalah sebagai berikut: Pertama,Sebuah realitas bahwa elit kekuasaan di Jakarta tidak peka akan suasana psiko-sosial daerah yang memiliki kekuasaan yang cukup signifikan yang berakibat pada penerapan desentralisasi dijalankan berjalan semu. Bahkan, desentralisasi pemerintahan saat ini bisa kita lihat sebagai desentralisasi KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang pada kenyataan-nya memudahkan korupsi dari Jakarta (pusat) ke daerah-daerah. Kedua, Adanya anggapan bahwa UU tentang Otonomi Daerah seperti UU No.32 Tahun 2004 tersebut di banyak hal merupakan logika Federalisme yang diberlakukan di negara kesatuan. Bentuk-bentuk federalistis bisa kita lacak pada format kenegaraan kita yang rancu. Pada saat Otonomi dan desentralisasi sudah diterapkan, pikiran kita tertuju pada permasalahan Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan Keistemewaan Yogyakarta,yang sebenarnya merupakan bentuk federalistis nyata. Pemberlakuan Otonomi Khusus tersebut memicu ‘kecemburuan’ dan ‘rasa ketidakadilan’ dari daerah lain yang kaya dengan sumber daya alam. Ketiga, Munculnya persoalan-persoalan yang mengemuka seperti logika politik lokal yang seringkali memiliki alur sendiri tidak selalu sama dengan logika politik nasional. Logika kekuasaan lokal masih dipengaruhi oleh logika kekuasaan kerajaan dan kesultanan yang sebagian besar berlaku hingga saat ini yang dianggap sebagai entitas-entitas politik. Set-ting politik lokal dalam masyarakat majemuk diwarnai logika etnisitas dan eksistensi lembaga dan kearifan lokal yang pernah berkibar, seperti Nagari di Sumbar, Katumenggungan di Kalimantan, desa Pakriman di Bali. Berdasarkan uraian latar belakang dan perma-salahan tersebut diatas, timbul pertanyaan kritis. Apakah diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 menyangkut Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam rangka menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini ?. C. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis dalam penelitian ini mengandung beberapa unsur atau aspek-aspek yang merupakan variabel-variabel penting dalam penelitian ini, yaitu konsep tentang Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Otonomi Daerah Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa konsep Otonomi Daerahadalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Bila kita simak pernyataan Undang-Undang diatas sesungguh-nya daerah mempunyai legitimasi yang kuat dengan kekuatan hak, wewenang, dan kewajiban untuk mengurus sendiri dan mengatur daerahnya masing-masing dengan tujuan utama adalah meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya saing daerah. Untuk menyelenggarakan dan mengimplementasi-kan konsep otonomi daerah dalam pemerintahan, maka menurut Pasal 2 ayat 2 bahwa pemerintahan daerah mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 313 menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”.Yang dimaksud dengan “asas otonomi dan tugas pem-bantuan” itu adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan dari pemerintahan kabupaten/kota ke desa. Peme-rintahan daerah provinsi bisa langsung memberikan penugasan terhadap pemerintahan kabupaten/kota atau penugasan pemerintahan kabupaten /kota ke desa, penugasan yang dimaksud ini tentu bukan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan politik sehingga seorang bupati atau walikota bisa dijatukan gubernur, karena jelas bahwa UU Nomor 32 tahun 2004 ini memberikan kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menilai, memilih atau memberhentikan kepala daerah sesuai dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku. Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerin-tah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam pelayanan kepada masyarakat(Widjaja, 2009:21-22). Menurut Tri Ratnawati(Karim,dkk:2006:99) Undang-undang No. 22 tahun 1999 telah menciptakan otonomi daerah yang rasional. Otonomi daerah yang rasional artinya otonomi yang di-design secara hati-hati ( tidak tergesa-gesa) dengan memperhatikan aspek-aspek ekonomi, politis, geografis, dan budaya setempat yang sangat beragam itu, disamping aspek kerjasama antar daerah dan integrasi bangsa. Negara Kesatuan Republik Indonesia Perumusan negara kesatuan sebagai suatu ketentuan hukum yang berlaku dapat diketemukan dalam Pasal 1 ayat (11)undang-undang dasar 1945 yang berbunyi ; “Negara Indonesia ialah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik”. Dalam penjelasan diterangkan bahwa: “negara”begitu bunyinya – melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menja-tuhkan pilihan pada desentralisasi. Desentralisasi disini diartikan dalam pengertian yang luas, yang mencakup political decentralization dan administrative decentrali-zation sesuai dengan konsep Gabriel U. Iglesias. Menurut Iglesias, desentralisasi politik (political decen-tralization) melahirkan daerah-daerah otonom dan ad-ministrative decentralization adalah istilah lain dari ‘lo-cal state goverment’ yang melahirkan wilayah-wilayah administratif (Gabriel, 1978:14). Dari ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya dapat disimpulkan bahwa: Wilayah Indonesia dibagi atas dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom maupun bersifat administratif.Daerah-daerah itu mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan bentuk sususan pemerintahannya ditetapkan dengan atau atas kuasa undang-undang. Pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam menentukan susunan pemerintahannya harus dengan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indo-nesia salah satunya menganut asas negara kesatuan yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan timbal balik yang melahirkan adanya hubungan kewenangan dan pengawasan. Desentralisasi Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Desentralisasi merupakan Penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia”.Bila ditinjau dari perspektif ilmu politik, sesungguhnya desentralisasi seringkali diartikan sebagai ‘transference of authority, legislative, judicial or administrative, from a higher level of government to a lower level, atau devolusi kekuasaan dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Namun tidak semua bentuk desentralisasi adalah demokratis. Perkembangan Otonomi Daerah Sebelum Kemerdekaan sampai 1945 Rumusan otonomi daerah yang kita kenal sekarang belumlah dikenal pada masa kerajaan atau kesultanan. Pada masa kerajaan pola hubungan antara kerajaan atau kesultanan dengan daerah taklukannya lebih pada hubungan atasan dan bawahan atau pengakuan formal lewat pembayaran pajak secara reguler.Pelaksanaan otonomi sebelum kedatangan penjajahan diperankan oleh penguasa atau raja yang sangat dominan atau dengan perkataan lain hegemoni kekuasaan raja berjalan secara terus-menerus dengan sistem monarki-sentralistik. Pada masa penjajahan Belanda pada awal Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 314 1900, pelaksanaan otonomi masih bersifat monopolistik dan sentralistis. Semua kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif bertumpu pada Gubernur-Jendralsebagai wakil raja Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda membagi wilayah administratifnya untuk menerapkan dekonsentrasi yang biasa disebut gewesten, afdelingan, onderafdelingan. Pada tahun 1903 pemerintahan Kerajaan Belanda menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van het bestuur in Nederlandsch Indieatau yang lebih dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903. Undang-undang Desentralisasi 1903 yang tersebut di atas memiliki makna bahwa daerah bisa membentuk daerah otonom dan lembaga perwakilan seperti DPRD di luar lembaga otonom yang ada sebelumnya yaitu Swaprajadan desa yang berdasarkan hukum adat. Bersamaan dengan berkembangnya desentralisasi itu pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan Politik Etisdalam mengembangkan daerah otonom. Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia antara tahun 1942-1945, menerapkan sistem dekonsentrasi dan sentralistik dengan mengadakan perubahan-perubahan kecil seperti penamaan daerah dan pejabatnya serta nama lembaga kemiliteran digantikan ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun (pasukan angkatan laut), rikugun(Pasukan angkatan darat), Nippon Banzai(hidup Jepang), Saikosikikan (Gubernur Jendral), Gunseikan (kepala Staff), dan lain-lain. Jepang membagi Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer. Petama, Sumatera di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di Bukuttinggi. Kedua, Jawa dan Madura di bawah Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang berkedudukan di Jakarta.Keempat, daerah-daerah lainnya di bawah Komando Panglima Angkatan Laut (Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan pembagian wilayah ini, maka pusat pemerintahan berada di bawah kekuasaan militer yang dilaksanakan oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan sebutan Gunseikan. Sistem administrasi pemerintahan adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin (Gubernur Jendral). Otonomi Daerah Pada Masa Kemerdekaan Sejak 1945 – 2010 Pada masa sehari sesudah Proklamasi Kemerde-kaan, ditetapkan konstitusi negara kita adalah Undang-Undang 1945. Untuk mempersiapkan kemerdekaan dan pembuatan Undang-Undang dibentuklah PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam perumusan pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, ada beberapa pokok bahasan yang terpenting adalah a) Urusan rakyat; b) Hal Pemerintahan Daerah; c) Pimpinan kepolisian; dan d) Tentara kebangsaan (Riwukaho, 2001:30). Pada masa peralihan dari kekuasaan pemerintahan kolonial kepada pemerintahan Indonesia ada dua periode penyelenggaraan pemerin-tahan daerah hasil proses politik, yaitu Undang-Undang No. 1 1945 dan undang-Undang no. 22 tahun 1948. Berikut ini disajikan rumusan asas otonomi dalam UU tentang pemerintahan daerah sejak tahun 1945 hingga tahun 2010. Rumusan prinsip atau isi otonomi setiap undang-undang selalu berbeda satu sama lain yang menunjukkan pembuat undang-undang (DPR dan pemerintahan) tidak menghendaki kosistensi atau kesinambungan. Berikut ini dijabarkan rumusan-rumusan prinsip /asas otonomi sejak 1945-2010. No. Undang-undang Rumusan prinsip / asas otonomi 1. UU No.1 Tahun 1945 Kemerdekaan pengaturan rumah tangga Daerah “asal tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas daripadanya”. 2. UU No.22 Tahun 1948 a. Hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri berdasarkan hak otonomi dan hak medebewend b. titik berat otonomi ada pada desa atau kota kecil 3. UU No.1 Tahun 1957 Otonomi formil: wewenang daerah mengurusin rumah tanggatidak dibatasi 4. Penpres No.6/59 & Penpres No. 5 1960 Melanjutkan politik desentralisasi (terirorial) dan dekosentrahisasi, dimana mekanisme mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri, dengan memperhatikan kemampuan masing-masing daerah. 5. UU No.18 Tahun 1965 a. A. Otonomi teritorial yang riil dan seluas-luasnya, serta menjalankan politik b. dekosentrasi sebagai komplemen yang vital Rumusan prinsip atau asas otonomi dalam Undang Undang 1945-2010 Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 315 (Sumber: Marbun, B.N, Op. Cit., Hlm. 45) Penjelasan dan deskripsi yang panjang menggam-barkan perjalanan kebijaksanaan otonomi atau desentralisasi di Indonesia yang telah diperjuangkan semenjak negeri ini merdeka. Akan tetapi, ada satu hal yang menjadi pelajaran berharga bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah perubahan kebijaksanaan pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh konfigurasi politik nasional yang berkembang dari waktu ke waktu. Oleh karenanya, perkembangan politik di Jakarta atau pusat yang dinamis dan mengarah pada demokratisasi, tentu sangat menguntungkan bagi iklim demokrasi di tingkat lokal yang menjadi tulang punggung demokrasi daerah. Namun, sebaliknya bila pusat cenderung ke arah otoritarianisme maka akan memunculkan pemerintahan yang sentralistik, yang sangat membawa implikasi yang tidak menguntungkan bagi perkem-bangan pembangunan dan demokrasi daerah secara keseluruhan. D. Metodologi Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan menganalisis perkembangan pene-rapan Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berpedoman pada Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah yang berlaku saat ini, yaitu UU No. 32 Tahun 2004. Penelitian ini termasuk jenis penelitian dasar (basic research) dan termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian dasar yang dimaksud adalah penelitian yang berupa penegasan kembali atau pembuktian dari suatu pernyataan atau teori yang sudah ada sehingga berguna untuk memperkuat pernyataan atau teori yang semula (Riyanto, 2004: 4). Sumber data penelitian yang digunakan sebagaimana lazimnya peneliti, yaitu: Pertama, Data Primer, yaitu bahan-bahan yang mengikat yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, Data sekunder, merupakan data-data penunjang seperti peraturan perundangan mengenai otonomi daerah, desentralisasi, dan Negara Kesatuan Republik Indone-sia (NKRI). Langkah-langkah dalam menganalisis data dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pertama-tama, melukiskan variabel, mengidentifikasi teori secara sistematis, penemuan pustaka, dan menganalisis dokumen yang meliputi informasi yang berkaitan dengan fokus penelitian. Kedua, semua data yang didapat dilakukan analisis secara kualitatif tanpa mengunakan angka-angka atau model statistik, matematika, ekomotorik, dan model-model tertentu seperti penghitungan eksakta lainnya. E. Pembahasan dan Hasil Penelitian Berikut ini beberapa hasil penelitian kajian Undang-Undang tentang pemerintahan daerah mengenai otonomi daerah dan desentralisasi dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kajian Teoritis UU No. 5 Tahun 1974 Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, tentang pokok-pokok pemerintahan di daerah tersebut merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari UU nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan pergantian orde lama ke orde baru. Konfiguasi politik orde baru yang otoritarian melahirkan Undang-undang pemerintahan daerah seperti itu. Presiden merupakan penentu agenda kebijaksanaan publik di Indonesia, terutama karena re-sources yang dimilikinya. (Syaukani, dkk, 2009:124-125). Menurut Syaukani, dkk (Syaukani, dkk, 2009:145-150), ada beberapa karateristik yang menonjol dari prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5 Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan kemudian wilayah administrative berupa provinsi, Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 316 kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan melakukan pembinaan langsung terhadap daerah. Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan Daerah sebagaimana umumnya dengan undang-undang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa “Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang me-nandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta. Berdasarkan penjelasan diatas, konsep otorita-rianisme dan sentralisme sangat dominan dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah UU No. 5 Tahun 1974. Tidak heran bahwa logika asas yang digunakan dalam UU ini secara bersama-sama dengan seimbang dan serasi menganut Asas Dekonsentrasi, Asas Desentralisasi, Asas Pembantuan. Dengan pengunaan tiga asas sekaligus, sesungguhnya mengaburkan makna otonomi daerah dan dalam prakteknya ternyata pemerintah bertitik berat pada asas dekosentrasi. Hal ini menurut B.N Marbun ( Marbun, 2010: 90) disebabkan kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah Kabupaten/ Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan diputuskan oleh pemerintah. Di sisi lain, Undang-Undang ini tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan tingkat desa. Kajian Teoritis UU Nomor 22 Tahun 1999 Titik balik penting dalam sejarah desentralisasi di Indonesia adalah tahun 1999. Di mana bangsa Indo-nesia yang berupaya keras untuk mengubah pola hubungan pusat-daerah yang paternalistik dan sentralistik yang terjadi pada masa orde baru dengan penerapan UU Nomor 5 tahun 1974. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan menjadi pola hubungan pusat-daerah yang bersifat kemitraan dan sentralistik yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999 dan UU No. 25 tahun 1999. Undang-undang ini sesungguhnya merupakan produk pemerintahan Bj. Habibie yang hampir merupakan “anti-tesis” dari UU Nomor 5 tahun 1974 tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang berlaku di masa pemerintahan Soeharto. Sejak dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 lalu UU tersebut telah ikut berperan dalam membuka kebebasan pers da “keran-keran” demokrasi di tingkat lokal bersamaan kebebasan pers dan sistem multipartai (Karim,dkk, 2003:73). Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal 2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/ kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun, 2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik In-donesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan kota yang bersifat otonomi. Kedua,Daerah-daerah ini masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999). Ketiga,Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai Daerah Administratif. Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua, Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat otonomi daerah dipokuskan kepada Daerah Kabupaten dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga, Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat.Dalam sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima, No Mandate Without Funding.Penyelenggaraan tugas pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan “Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/ Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat {4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun 1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat. Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD. Setelah UU No.22 Tahun 1999 berlaku lebih kurang 4 (empat) tahun, muncul berbagai distorsi dalam implementasinya, bahkan muncul “ketegangan” antara Pusat dan Daerah berkaitan dengan kebijakan Pusat yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi Daerah. misalnya Peraturan Pemerintah tentang urusan otonomi untuk Kabupaten dan Kota. Akan tetapi Pemerintah justru mengeluarkan Keputusan Presiden No.5 Tahun 2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan Kabupaten/Kota, yang kemudian ditindaklanjuti dengan menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.130-67 Tahun 2002 tanggal 20 Pebruari 2002 tentang Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 317 Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota. (Ni’matul, 2007:73). Menurut Tri Ratnawati, beberapa penyebab problematika UU nomor 22 tahun 1999 ini adalah pertama, salah asumsi oleh para penyusun UU Nomor 22 tahun 1999. UU ini dibuat dengan asumsi normal seperti membayangkan seolah-olah setelah Soeharto ‘lengser’ maka demokrasi, politik, dan ekonomi akan berjalan lurus dan mulus, namun kenyataaannya tidak. Kedua, adalah inherent dalam UU Nomor 22 tahun 1999 itu sendiri. Dalam UU ini bisa dilihat banyaknya inkosistensi antar pasal-pasal, disamping adanya pasal yang multi tafsir. Secara keseluruhan UU tersebut kurang fungsional (sulit diimplementasikan) karena terlalu banyak peraturan pelaksana yang diminta untuk menindaklanjutinya. Ketiga,berkaitan dengan masalah persepsi para elit. Otonomi daerah yang seharusnya dilihat para elit (pusat maupun daerah) sebagai instru-ment kesejahteraan masyrakat, demokratisasi, dan integrasi bangsa, digampangkan dengan hanya bagi-bagi kekuasaan. Kelima, Belum terciptanya organisasi pemerintahan daerah yang efisien dalam melayani publik, dan belum terlihatnya ‘tingkah laku’ pejabat pemerintah yang reformis dan professional (Karim, dkk, 2003:98-99). Inilah beberapa hal sekelumit masalah yang timbul setelah berlakunya UU Nomor 22 tahun 1999 dari banyak masalah yang terjadi ini timbul dari sebuah variabel latar belakang politik yang unik. Otonomi daerah ini muncul, akibat adanya respons tekanan dan tuntutan publik akan pelaksanaan clean government and good governance, diilhami oleh asumsi teoritis bahwa otonomi daerah akan menciptakan masa depan yang lebih baik bagi Indonesia Kajian Teoritis UU Nomor 32 Tahun 2004 Gagasan baru pengganti UU Nomor 22 tahun 1999 yang dimaksud adalah UU nomor 32 Tahun 2004. Belum genap 4 tahun perjalanan efektif UU No.22 Tahun 1999, Pemerintah telah mengeluarkan UU No.32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Menurut Marbun, B.N, ada beberapa latar Belakang Situasi dan Nuansa Pem-bentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Peme-rintahan Daerah sebagai berikut (Marbun, 2010:107-108): Pertama, Adanya pergeseran suasana dan pergeseran kekuatan politik di Indonesia tergambar dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 Kedua, Suasana reformasi mendapat tafsir yang kurang tepat. Ketiga, Masalah Otonomi Khusus bagi Aceh dan Papua dan prinsip Negara Kesatuan. Keempat, DPRD dan Pemerintah daerah “mabuk” reformasi dan membuat Perda yang tumpang tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya. Kelima, Maraknya korupsi di DPRD seluruh Indonesia. Keenam, DPRD bertindak “overacting” berhadapan dengan Kepala Daerah terutama menyangkut Laporan Pertanggungjawaban (LPJ) setiap akhir tahun dan pada masa akhir jabatan Kepala Daerah. Ketujuh, Aman-demen UUD 1945 oleh MPR. Namun, yang paling penting dikritisi dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan daerah ini adalah masalah Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan Daerah istimewa yogyakarta tidak secara rinci dan detail alasan yang kuat mengapa diberikan otonomi khusus pada Aceh dan Papua, bahkan dapat dikatakan tidak ada secara tertulis penekanan daerah-daerah khusus tersebut dalam Undang-Undang nomor 32 tahun 2004 ini. Yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat (19) UU. Nomor 32 tahun 2004 ini menyebutkan Kawasan khusus yang dimaksud untuk kepentingan nasional. Pertanyaannya adalah mengapa ada wilayah yang diberikan otonomi khusus dan ada yang tidak. Inilah yang perlu disikapi dengan bijak dan adil, serta harus ada tolak ukur daerah yang dikatakan khusus dan tertulis dalam undang-undang dengan keputusan konstitusional dan konsensus nasional. Bila dikaji lebih jauh latar belakang dan alasan diberikanya Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta oleh pemerintah beserta peraturan perundangannya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pertama adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap Papua didasari secara dasar hukumnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam UU tersebut menyebutkan ada beberapa pokok-pokok penting yang latar belakang pemerintah pusat mempertimbangkan Otonomi Khusus Papua terutama2 : bahwa poin keduapenyelenggaraan pemerintahan dan pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menam-pakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; dan poin keempat, bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak 2 Lihat Undang-Undang 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 318 Asasi Manusia penduduk asli Papua. Melihat alasan yang dikemukan diatas sesungguh-nya keadaan masyarakat Papua biasa, tidak ada yang bersifat khusus. Semua hal-hal khusus yang dikemukan diatas juga sebenarnya ada pada/ pernah dialami daerah lain di Indonesia. Seperti kekayaan alam Papua belum dimanfaatkan. Hal tersebut juga terjadi pada daerah yang kaya dengan Sumber Daya Alam seperti Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, dan lain-lain. Kemungkinan kekwatiran terbesar pemerintah pusat pada keinginan kelompok berpengaruh di Papua, yaitu Majelis Rakyat Papua yang ingin merdeka dan juga ada kepentingan Amerika di Papua. Jadi masalah Papua sudah masuk pada tataran internasional. Kedua, adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap Aceh didasari secara dasar hukumnya pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006 Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh. Dalam UU tersebut menyebutkan beberapa pokok-pokok penting yang melatarbelakang pemerintah pusat memper-timbangkan Otonomi Khusus Aceh berdasarkan 3 : Poin kedua, bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat. Dan Poin Ketiga, bahwa penyelenggaraan pemerin-tahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat, keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan hak asasi manusia; serta poin Kelima, bencana alam gempa bumi dan tsunamiyang terjadi di Aceh telah menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa In-donesia untuk membangun kembali masyarakat dan wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai, menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia; Bila ditelaah lebih jauh alasan pemerintah mem-berikan otonomi khusus Aceh tersebut dapat dipahami terlalu lamanya konflik dengan pusat berlangsung dan terjadinya mala petaka gempa bumi dan tsunami di Aceh. Ini artinya rasa kasihan yang sangat kuat dari segenap rakyat Indonesia terhadap penderitaan masyarakat Aceh. Sebenarnya kejadian gempa bumi juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Kerinci Provinsi jambi tahun 1995, Gempa bumi di Padang, dan daerah lainnya. Namun menurut penulis kemungkinan besar pada pandangan hidup rakyat Aceh berdasarkan Syari’at Islam yang kebetulan Indonesia sebagian besar penduduk Islam. Maka pemerintah kuatir kehilangan aset Islam di Aceh. Berkaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta, tentu kasusnya berbeda dengan kedua daerah otonomi khusus tersebut. Hal tersebut karena Yogyakarta dibentuk pertama kali sebagai daerah istimewa berdasakan UU No. 3 tahun 1950, yang menyebutkan “pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta”.Karena kekhususan dn keragaman budaya Yogyakarta, disamping pernah menjadi ibukota Negara Republik In-donesia, yang dianggap menyelamatkan negara kesatuan dari penjajahan Belanda. Melihat implementasi otonomi daerah dan desen-tralisasi sejak 1945 sampai sekarang, masih banyak terdapat politikus, atau sekelompok ahli tata negara, yang menghendaki Negara Kesatuan Republik Indone-sia secara sentralistik dengan alasan bahwa praktek otonomi luas berpotensi melahirkan kehendak pemi-sahan diri dari NKRI dan alasan lainnya. Mengapa hal tersebut bisa terjadi, apakah benar bahwa sesung-guhnya kelahiran UU nomor 32 tahun 2004 tentang otonomi daerah ini tidak didasarkan pada kehendak politik (political will) yang tulus dari pemerintah?, karena kebijaksanaan itu hanya sebagai respon untuk meredam munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah In-donesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI. Bila ditelaah Undang-undang tersebut terdapat beberapa pemikiran rasionalitas, yaitu: Pertama,istilah kewenangan pemerintahan daerah diubah menjadi urusan pemerintahan daerah. Bahasa ’kewenangan’ memiliki nuansa politik sebagai kedaulatan. Sedangkan bahasa ’urusan’ dipahami hanya pada aspek adminis-tratif saja. Kedua, pola pengendalian pemerintahan yang hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat kuat. Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik desentralisasi. Seperti PP No. 38 Tahun 2007 Tentang Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan, PP No. 41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah. Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis, yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999. Pilihan terhadap desentralisasi ini dalam rangka efektivitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan pemerintahan guna mengembangkan demokratisasi di daerah, sehingga daerah menjadi kuat. Dengan prinsip otonomi yang luas kepada daerah, maka diharapkan integrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik In-donesia terpelihara dengan baik. Dengan demikian harga diri dan martabat masyarakat di Daerah akan kuat dan kembali seperti pada awal negara kesatuan ini 3 Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 319 dibentuk. Semakin kuat daerah maka negara-bangsa akan semakin maju. Namun, sebaliknya bila pemerintah tidak mampu membina dan bahkan membiarkan daerah tanpa adanya sokongan di seluruh aspek, serta daerah diperlakukan ketidakadilan, maka celah atau peluang bagi daerah untuk memisahkan diri dari NKRI akan kuat bahkan membesar. Pada akhirnya masa depan otonomi daerah ini terletak pada posisi daerah yang kuat. Bila daerah diberikan otonomi yang seluas-luasnya akan menopang integrasi nasional dan keutuhan kesatuan Republik In-donesia. Dengan demikian keinginan beberapa kalangan kelompok politik di Indonesia untuk membuat negara federal di Indonesia sulit terealisasi. Untuk memudahkan otonomi ini, maka pemerintahan wajib memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah agar dalam melaksanakan otonomi dapat secara efisien dan efektif sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Dengan demikian pilihan kita terhadap desentralisasi dalam negara kesatuan semestinya dilakukan secara baik, sehat, dan bertanggungjawab. Inilah pilihan ke depan yang tepat dengan Negara Kesatuan yang didesentralisasikan bisa memperkuat integrasi nasional. Daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang serasi dengan pemerintah. Agar otonomi daerah dapat dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan yang berupa pemberian pedoman seperti dalam penelitian, pengembangan, perencanaan dan peng-awasan. F. Kesimpulan Setelah penulis medeskripsikan dan menjelaskan isi penelitian ini sesuai dengan permasalahan dalam penelitian tersebut, maka penulis menarik beberapa kesimpulan sebagai berikut: Pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyangkut Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam rangka menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan di Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini perlu direvisi. Karena masih ada celah atau kelemahan dalam undang-undang tersebut terutama dalam hal implementasi dari kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi ternyata tidak sesuai dengan konsep kebijaksanaannya. Akibatnya terjadi ketidakharmonisan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah. Daerah merasa diperlakukan secara tidak adil oleh pusat. Disamping itu, konsep otonomi khusus bagi aceh, Otonomi Khusus Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta masih menjadi momok dan kegelisahan bagi daerah lainnya yang mempunyai sumber daya alam yang kaya seperti Kalimantan, Riau, Kepaulauan Riau, dan daerah lainnya. Kedua, diperlukan penataan kembali penyeleng-garaan otonomi daerah dalam UU nomor 32 tahun 2004 tersebut dengan memetakan kembali implementasi sesuai dengan substansi desentralisasi dan otonomi daerah pasca UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal tersebut dilakukan untuk mencegah munculnya gerakan-gerakan di pusat yang tidak menghendaki otonomi daerah di In-donesia ini ‘subur’ dan ‘berkembang’. Sehingga di daerah akan timbul gejolak dan dinamika persoalan-persoalan otonomi dan desentralisasi dari masyarakat daerah yang tidak mustahil berbuat deskruptif dan membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia akibat dari terjadi ketidakkonsistenan dan ketidakselarasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 terhadap peraturan UUD 1945 Pasal 18 tentang Pemerintahan Daerah di lapangan. Saran Ada beberapa saran-saran yang perlu diperhatikan, yaitu Pertama,agar pemerintahan Pusat pro-aktif mengkaji lebih dalam bagaimana sebenarnya penye-lenggaraan otonomi di daerah-daerah, mengapa muncul gejolak masyarakat daerah, bukan melakukan tindakan represif dengan kekuatan militer. Kedua, berdasarkan atas berbagai masalah ketidakkonsistenan, kese-larasan, dan ketidaksejalannya UU Nomor 32 tahun 2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945 Negara Republik Indonesia tentang Pemerintahan Daerah. Maka penulis menyarankan diperlukan penulusuran lebih jauh implementasi apa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan penyelengaraan otonomi daerah menurut UU Nomor 32 tahun 2004 sebagai upaya meluruskan kembali peraturan-peraturan yang ada dalam UU Nomor 32 tahun 2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945, sehingga maksud dan tujuan otonomi daerah ini menjadi jelas. Ketiga, Judicial review UU Nomor 32 tahun 2004 ke Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dilakukan bila ditemukan di lapangan masalah UU tersebut yang mengarah pada disintegrasi bangsa, dan lain se-bagainya. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 320 DAFTAR PUSTAKA Anderson, Benedict R.O’G, (1999), “ Indonesian Nationalism Today and in the Future”. Indone-sia, no. 67, April. Riwukaho, Josef, (2001), Prospek Otonomi Daerah di Negara Republik Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada Marbun, B.N, (2010), Otonomi Daerah 1945 – 2010 Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta Abdul Gaffar Karim (Ed), (2006), Kompleksitas Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia, Jurusan ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Iglesias,U Gabriel, regionalization and Regional Develop ment in the Philippines, UP-CPA, Manila, 1978. Riyanto, Adi Metodologi Penelitian Social Dan Hukum, Jakarta Granit, 2004. Widjaja, HAW, (2009), Otonomi Daerah Dan Daerah Otonom, RajaGrafindo persada, Jakarta. Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid (2009), Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan. Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wignyosoebroto, Soetandyo, (2004), “Desentralisasi Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda”, Banyumedia. Said, Mas’ud, (2007), “Driving Forces dan Arah Baru Otonomi Daerah di Indonesia”,Jurnal Ilmu Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI), No. 24. Manan, Bagir, (2004), Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, Pusat Studi Hukum UII, Yogyakarta. Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia 321

Rabu, 07 Mei 2014

Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak. Upaya hukum luar biasa Disebut upaya hukum luar biasa karena: o Diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. o Upaya ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, bukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap. o Upaya hukum luar biasa diajukan kepada mahkamah agung sebagai pemeriksa, serta pembuat keputusan sebagai instansi pertama dan terakhir. Uapaya hukum luar biasa dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup: a. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004] Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu: a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu; b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn; c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut; d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya; e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata. Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).  Tata cara mengajukan peninjauan kembali meliputi; a.) Permintaan peninjauan kembali diajukan baik secara tertulis maupun lisan dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali kepada panitera yang memutus perkara itu pada tingkat pertama tanpa batas waktu. b.) Kemudian panitera membuat akta permintaan PK yang ditanda tangani oleh permohonan panitera. Kemudian berkas tersebut disampaikan kepada mahkamah agung melalaui ketua pengadilan. 2.b Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR. Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mengikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab itu dikatakan luar biasa). Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi dan atau sita jaminan tidak hanya terhadap suatu benda yang padanya melekat hak milik melainkan juga hak-hak lainnya. Pihak pelawan harus dilindungi karena Ia bukan pihak berperkara namun dalam hal ini kepentingannya telah tersentuh oleh sengketa dan konflik kepentingan dari penggugat dan tergugat. Untuk dapat mempertahankan dimuka dan meyakinkan pengadilan dalam mengabulkan perlawanannya maka Ia harus memiliki alas hak yang kuat dan dapat membuktikan bahwa benda yang akan disita tersebut adalah haknya. Dengan demikian, maka Ia akan disebut sebagai pelawan yang benar dan terhadap peletakan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Perlawanan pihak ketiga ini merupakan upaya hukum luar biasa tetapi pada hakikatnya lembaga ini tidak menunda dilaksanakannya eksekusi. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir ataupun revindicatoir tidak diatur baik dalam HIR, RBg ataupun Rv, ketentuan mengenai hal tersebut didapatkan dari yurisprudensi putusan Mahakamah Agung tanggal 31 Oktober 1962 No.306 K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasifik Line. Sumber : http://www.djkn.depkeu.go.id