Translate
Selasa, 20 Mei 2014
OTONOMI DAERAH DAN DESENTRALISASI
DALAM BINGKAI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
A. Pendahuluan
Persoalan otonomi daerah dan desentralisasi
merupakan masalah yang paling ramai dibicarakan di
negeri ini, disamping integrasi nasional, korupsi, partai
politik, dan kohesi nasional. Otonomi daerah adalah
sebuah proses bernegara yang tidak akan pernah tuntas
dan mengalami perubahan secara terus menerus dan
tidak berkesudahan. Hal ini wajar karena tuntutan-tuntutan baru akan selalu muncul sesuai kebutuhan,
maupun disebabkan adanya koreksi atas kelemahan
formulasi pada faktor perubahan lingkungan baik inter-nal maupun eksternal.
Sadar atau tidak sesungguhnya pertumbuhan
otonomi daerah di Indonesia sejak masa kemerdekaan
sampai sekarang (masa reformasi) telah mengalami
perubahan-perubahan secara fluktuatif (naik-turun)
sesuai dengan realitas di lapangan yang dilalui dengan
rezim pemerintahan yang berganti-ganti. Melihat
pertumbuhan dan perkembangannya ternyata berlang-sung tidak sesuai apa yang diinginkan para pendiri
republik ini. Tentu, tidaklah mengherankan bila Bagir
Manan (2004:27-29) mengatakan, “dalam tataran
pelaksanaan, belum pernah otonomi dijalankan
sebagaimana mestinya”,Menurut Bagir, pemerintahan
pusat dan legislatif tetap gamang dan tidak tulus hati
dalam merumuskan dan menjalankan arti otonomi yang
sesungguhnya dengan berbagai alasan pembenaran.
Peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan
daerah sudah mengalami perubahan sebanyak 8
(delapan) kali
1
, sejak UU Nomor 1 Tahun 1945 hingga
UU Nomor 32 Tahun 2004, hanya dalam rentang waktu
65 tahun menunjukan permasalahan otonomi daerah
1
Peraturan perundang-undangan tentang Pemerintahan Daerah yang dimaksud sebanyak delapan kali mengalami perubahan itu
adalah UU Nomor 1 tahun 1945, UU Nomor 22 Tahun 1948, UU Nomor 1 Tahun 1957, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, UU
Nomor 18 Tahun 1965, UU Nomor 5 Tahun 1974, UU Nomor 22 Tahun 1999, UU Nomor 32 Tahun 2004.
Oleh:
Kustiawan
Dosen Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Maritim Raja Ali Haji
Abstract
The issue of regional autonomy and decentralization are the most interesting problem dis-cussed in the countr.Regional autonomy is a state process that will never complete and
constantly changing, which is not interminable. If we trace the development of regional au-tonomy and decentralization, it turns out the legislation on local government has changed as
much as 8 (eight) times, since the Law No. 1 of 1945 to Law No. 32 of 2004. A reality that the
power elite in Jakarta are not sensitive to the psycho-social atmosphere that has a significant
power that resulted in the implementation of decentralization run goes false. The existence
of the nation that the Law on Regional Autonomy as Law No.32 of 2004 was in many ways
the logic of federalism imposed on a unitary state. Federalist forms we can trace in our state
is ambiguous format. At the time of autonomy and decentralization has been implemented,
our thoughts focused on issues of special autonomy in Aceh, Papua Special Autonomy, and
The Special Region Yogyakarta, which is actually a real federalist form. The implementation
of Special Autonomy trigger ‘jealousy’ and ‘sense of injustice’ from other areas rich in natural
resources. Based on the background and the problems mentioned above, then the question
can be formulated in this study as follows: Is the necessary revision of Law Number 32 Year
2004 regarding Regional Autonomy and Decentralization in order to overcome the problems
of nationality in the Republic of Indonesia today?.
Keywords : Regional Autonomy, Decentralization, Federalism, Local Political
yang begitu kompleksitas.
Pada kenyataannya desentralisasi yang menjadi
lokomotif demokrasi lokal ternyata menciptakan raja-raja kecil di daerah karena pemerintahan daerah panen
kekuasaan. Rakyat daerah tetap saja tidak mempunyai
keleluasaan, sehingga menimbulkan ketidakadilan,
kecemburuan sosial, dan pelayanan umum yang tidak
maksimal. Inilah sesungguhnya yang menjadi perhatian
kita bahwa ternyata logika kekuasaan pada format
ketatanegaraan kita masih terjadi kerancuan-kerancuan
paradigmatik yang menyebabkan kita terpaksa
memerlukan format-format khusus dan istimewa pada
saat otonomi daerah itu diterapkan. Realitas sosiologis
bangsa Indonesia memaksa kita untuk berupaya untuk
me-reformat ulang logika kekuasaan negara menyang-kut penerapan otonomi daerah yang seluas-luasnya
yang benar. Logika kekuasaan bangsa Indonesia selalu
mencerminkan dominasi kelompok terkuat menekan
yang lemah atau sebaliknya memamerkan kekuatan
daerah dengan jiwa atau semangat penaklukan. Hal ini
juga bisa kita teropong melalui analisis seorang peneliti
barat yang sangat kompeten dengan masalah
nasionalisme Indonesia, yaitu Ben Anderson.
Menurut Ben Anderson(Benedict, 1999), Nasiona-lisme Indonesia sering kali terlalu sarat dengan
semangat penaklukan. Anderson menganalogkan hal
ini dengan semangat yang mendasari sebuah perang
terbesar dan tersistematis yang pernah dikobarkan oleh
bangsa Jawa melawan Belanda: Perang Diponegoro.
Semangat menaklukkan ini tampaknya masih sangat
kuat mencengkeram logika politik kekuasaan di Indo-nesia hingga sekarang. Sama halnya dengan bagai-mana para pendiri negeri ini ambisius memilih
berpegang tangan di atas ide negara kesatuan daripada
negara federal yang kala itu hingga kini dianggap
sebagai sebuah bentuk keterpecahbelahan.
B. Permasalahan
Berdasarkan masalah yang dipaparkan dalam latar
belakang penelitian di atas, maka penulis berupaya
mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
Pertama,Sebuah realitas bahwa elit kekuasaan di
Jakarta tidak peka akan suasana psiko-sosial daerah
yang memiliki kekuasaan yang cukup signifikan yang
berakibat pada penerapan desentralisasi dijalankan
berjalan semu. Bahkan, desentralisasi pemerintahan
saat ini bisa kita lihat sebagai desentralisasi KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang pada kenyataan-nya memudahkan korupsi dari Jakarta (pusat) ke
daerah-daerah. Kedua, Adanya anggapan bahwa UU
tentang Otonomi Daerah seperti UU No.32 Tahun 2004
tersebut di banyak hal merupakan logika Federalisme
yang diberlakukan di negara kesatuan. Bentuk-bentuk
federalistis bisa kita lacak pada format kenegaraan kita
yang rancu. Pada saat Otonomi dan desentralisasi
sudah diterapkan, pikiran kita tertuju pada permasalahan
Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus Papua, dan
Keistemewaan Yogyakarta,yang sebenarnya
merupakan bentuk federalistis nyata. Pemberlakuan
Otonomi Khusus tersebut memicu ‘kecemburuan’ dan
‘rasa ketidakadilan’ dari daerah lain yang kaya dengan
sumber daya alam. Ketiga, Munculnya persoalan-persoalan yang mengemuka seperti logika politik lokal
yang seringkali memiliki alur sendiri tidak selalu sama
dengan logika politik nasional. Logika kekuasaan lokal
masih dipengaruhi oleh logika kekuasaan kerajaan dan
kesultanan yang sebagian besar berlaku hingga saat
ini yang dianggap sebagai entitas-entitas politik. Set-ting politik lokal dalam masyarakat majemuk diwarnai
logika etnisitas dan eksistensi lembaga dan kearifan
lokal yang pernah berkibar, seperti Nagari di Sumbar,
Katumenggungan di Kalimantan, desa Pakriman di Bali.
Berdasarkan uraian latar belakang dan perma-salahan tersebut diatas, timbul pertanyaan kritis. Apakah
diperlukan revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
menyangkut Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
rangka menyikapi persoalan-persoalan kebangsaan di
Negara Kesatuan Republik Indonesia sekarang ini ?.
C. Kerangka Teoritis
Kerangka teoritis dalam penelitian ini mengandung
beberapa unsur atau aspek-aspek yang merupakan
variabel-variabel penting dalam penelitian ini, yaitu
konsep tentang Otonomi Daerah, Desentralisasi, dan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Otonomi Daerah
Dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
Pasal 1 ayat 5 menyebutkan bahwa konsep Otonomi
Daerahadalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah
otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.Bila kita
simak pernyataan Undang-Undang diatas sesungguh-nya daerah mempunyai legitimasi yang kuat dengan
kekuatan hak, wewenang, dan kewajiban untuk
mengurus sendiri dan mengatur daerahnya masing-masing dengan tujuan utama adalah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, pelayanan umum, dan daya
saing daerah.
Untuk menyelenggarakan dan mengimplementasi-kan konsep otonomi daerah dalam pemerintahan, maka
menurut Pasal 2 ayat 2 bahwa pemerintahan daerah
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
313
menurut “asas otonomi dan tugas pembantuan”.Yang
dimaksud dengan “asas otonomi dan tugas pem-bantuan” itu adalah bahwa pelaksanaan urusan
pemerintahan oleh daerah dapat diselenggarakan
secara langsung oleh pemerintahan daerah itu sendiri
dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke
pemerintah kabupaten/kota dan desa atau penugasan
dari pemerintahan kabupaten/kota ke desa. Peme-rintahan daerah provinsi bisa langsung memberikan
penugasan terhadap pemerintahan kabupaten/kota atau
penugasan pemerintahan kabupaten /kota ke desa,
penugasan yang dimaksud ini tentu bukan hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan politik sehingga seorang
bupati atau walikota bisa dijatukan gubernur, karena
jelas bahwa UU Nomor 32 tahun 2004 ini memberikan
kedaulatan sepenuhnya kepada rakyat untuk menilai,
memilih atau memberhentikan kepala daerah sesuai
dengan mekanisme perundang-undangan yang berlaku.
Proses peralihan dari sistem dekonsentrasi ke sistem
desentralisasi disebut pemerintah daerah dengan
otonomi. Otonomi adalah penyerahan urusan pemerin-tah kepada pemerintah daerah yang bersifat operasional
dalam rangka sistem birokrasi pemerintahan. Tujuan
otonomi adalah mencapai efektivitas dan efisiensi dalam
pelayanan kepada masyarakat(Widjaja, 2009:21-22).
Menurut Tri Ratnawati(Karim,dkk:2006:99) Undang-undang No. 22 tahun 1999 telah menciptakan otonomi
daerah yang rasional. Otonomi daerah yang rasional
artinya otonomi yang di-design secara hati-hati ( tidak
tergesa-gesa) dengan memperhatikan aspek-aspek
ekonomi, politis, geografis, dan budaya setempat yang
sangat beragam itu, disamping aspek kerjasama antar
daerah dan integrasi bangsa.
Negara Kesatuan Republik Indonesia
Perumusan negara kesatuan sebagai suatu
ketentuan hukum yang berlaku dapat diketemukan
dalam Pasal 1 ayat (11)undang-undang dasar 1945
yang berbunyi ; “Negara Indonesia ialah Negara
Kesatuan yang berbentuk Republik”. Dalam penjelasan
diterangkan bahwa: “negara”begitu bunyinya –
melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dengan berdasar atas
persatuan dengan mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia.
Negara Kesatuan Republik Indonesia telah menja-tuhkan pilihan pada desentralisasi. Desentralisasi disini
diartikan dalam pengertian yang luas, yang mencakup
political decentralization dan administrative decentrali-zation sesuai dengan konsep Gabriel U. Iglesias.
Menurut Iglesias, desentralisasi politik (political decen-tralization) melahirkan daerah-daerah otonom dan ad-ministrative decentralization adalah istilah lain dari ‘lo-cal state goverment’ yang melahirkan wilayah-wilayah
administratif (Gabriel, 1978:14).
Dari ketentuan dalam Pasal 18 ayat (1) Undang-undang Dasar 1945 beserta penjelasannya dapat
disimpulkan bahwa: Wilayah Indonesia dibagi atas
dalam daerah-daerah, baik yang bersifat otonom
maupun bersifat administratif.Daerah-daerah itu
mempunyai pemerintahan, yang pembagian wilayah dan
bentuk sususan pemerintahannya ditetapkan dengan
atau atas kuasa undang-undang. Pembentukan daerah-daerah itu, terutama daerah-daerah otonom dan dalam
menentukan susunan pemerintahannya harus dengan
permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara
dan hak-hak asal-usul dalam daerah-daerah yang
bersifat istimewa (asli). Didalam negara kesatuan
tanggung jawab pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan
pada dasarnya tetap berada di tangan Pemerintah
Pusat. Akan tetapi karena sistem pemerintahan Indo-nesia salah satunya menganut asas negara kesatuan
yang didesentralisasikan, maka ada tugas-tugas tertentu
yang diurus sendiri, sehingga menimbulkan hubungan
timbal balik yang melahirkan adanya hubungan
kewenangan dan pengawasan.
Desentralisasi
Pasal 1 Butir 7 UU No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dijelaskan bahwa “Desentralisasi
merupakan Penyerahan wewenang pemerintahan oleh
Pemerintah kepada daerah otonomi untuk mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara
Kesatuan Republik Indonesia”.Bila ditinjau dari
perspektif ilmu politik, sesungguhnya desentralisasi
seringkali diartikan sebagai ‘transference of authority,
legislative, judicial or administrative, from a higher level
of government to a lower level, atau devolusi kekuasaan
dari pemerintahan pusat ke pemerintahan lokal. Namun
tidak semua bentuk desentralisasi adalah demokratis.
Perkembangan Otonomi Daerah Sebelum
Kemerdekaan sampai 1945
Rumusan otonomi daerah yang kita kenal sekarang
belumlah dikenal pada masa kerajaan atau kesultanan.
Pada masa kerajaan pola hubungan antara kerajaan
atau kesultanan dengan daerah taklukannya lebih pada
hubungan atasan dan bawahan atau pengakuan formal
lewat pembayaran pajak secara reguler.Pelaksanaan
otonomi sebelum kedatangan penjajahan diperankan
oleh penguasa atau raja yang sangat dominan atau
dengan perkataan lain hegemoni kekuasaan raja
berjalan secara terus-menerus dengan sistem monarki-sentralistik. Pada masa penjajahan Belanda pada awal
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
314
1900, pelaksanaan otonomi masih bersifat monopolistik
dan sentralistis. Semua kekuasaan eksekutif, yudikatif,
dan legislatif bertumpu pada Gubernur-Jendralsebagai
wakil raja Belanda. Pemerintahan Hindia Belanda
membagi wilayah administratifnya untuk menerapkan
dekonsentrasi yang biasa disebut gewesten, afdelingan,
onderafdelingan.
Pada tahun 1903 pemerintahan Kerajaan Belanda
menetapkan suatu Wethoudende Decentralisatie van
het bestuur in Nederlandsch Indieatau yang lebih
dikenal dengan sebutan Decentralisatiewet 1903.
Undang-undang Desentralisasi 1903 yang tersebut di
atas memiliki makna bahwa daerah bisa membentuk
daerah otonom dan lembaga perwakilan seperti DPRD
di luar lembaga otonom yang ada sebelumnya yaitu
Swaprajadan desa yang berdasarkan hukum adat.
Bersamaan dengan berkembangnya desentralisasi itu
pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan Politik
Etisdalam mengembangkan daerah otonom.
Pada masa penjajahan Jepang di Indonesia antara
tahun 1942-1945, menerapkan sistem dekonsentrasi
dan sentralistik dengan mengadakan perubahan-perubahan kecil seperti penamaan daerah dan
pejabatnya serta nama lembaga kemiliteran digantikan
ke dalam Bahasa Jepang seperti kaigun (pasukan
angkatan laut), rikugun(Pasukan angkatan darat),
Nippon Banzai(hidup Jepang), Saikosikikan (Gubernur
Jendral), Gunseikan (kepala Staff), dan lain-lain. Jepang
membagi Hindia Belanda menjadi 3 kekuasaan militer.
Petama, Sumatera di bawah Komando Panglima
Angkatan Darat XXV (Rikugun) yang berkedudukan di
Bukuttinggi. Kedua, Jawa dan Madura di bawah
Komando Panglima Angkatan Darat XVI (Rikugun) yang
berkedudukan di Jakarta.Keempat, daerah-daerah
lainnya di bawah Komando Panglima Angkatan Laut
(Kaigun) yang berkedudukan di Makasar. Dengan
pembagian wilayah ini, maka pusat pemerintahan
berada di bawah kekuasaan militer yang dilaksanakan
oleh Komandan Angkatan masing-masing dengan
sebutan Gunseikan. Sistem administrasi pemerintahan
adopsi dari Jepang ini bisa terlihat ketika kekuasaan
berada di bawah satu tangan, yaitu Saikoksikin
(Gubernur Jendral).
Otonomi Daerah Pada Masa Kemerdekaan Sejak
1945 – 2010
Pada masa sehari sesudah Proklamasi Kemerde-kaan, ditetapkan konstitusi negara kita adalah Undang-Undang 1945. Untuk mempersiapkan kemerdekaan dan
pembuatan Undang-Undang dibentuklah PPKI (Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia). Dalam perumusan
pembentukan Undang-Undang Dasar 1945, ada
beberapa pokok bahasan yang terpenting adalah a)
Urusan rakyat; b) Hal Pemerintahan Daerah; c)
Pimpinan kepolisian; dan d) Tentara kebangsaan
(Riwukaho, 2001:30). Pada masa peralihan dari
kekuasaan pemerintahan kolonial kepada pemerintahan
Indonesia ada dua periode penyelenggaraan pemerin-tahan daerah hasil proses politik, yaitu Undang-Undang
No. 1 1945 dan undang-Undang no. 22 tahun 1948.
Berikut ini disajikan rumusan asas otonomi dalam
UU tentang pemerintahan daerah sejak tahun 1945
hingga tahun 2010. Rumusan prinsip atau isi otonomi
setiap undang-undang selalu berbeda satu sama lain
yang menunjukkan pembuat undang-undang (DPR dan
pemerintahan) tidak menghendaki kosistensi atau
kesinambungan. Berikut ini dijabarkan rumusan-rumusan prinsip /asas otonomi sejak 1945-2010.
No. Undang-undang Rumusan prinsip / asas otonomi
1. UU No.1 Tahun 1945 Kemerdekaan pengaturan rumah tangga Daerah “asal tidak bertentangan
dengan Peraturan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah yang lebih luas
daripadanya”.
2. UU No.22 Tahun 1948 a. Hak pengaturan dan pengurusan rumah tangga sendiri berdasarkan hak
otonomi dan hak medebewend
b. titik berat otonomi ada pada desa atau kota kecil
3. UU No.1 Tahun 1957 Otonomi formil: wewenang daerah mengurusin rumah tanggatidak dibatasi
4. Penpres No.6/59 &
Penpres No. 5 1960
Melanjutkan politik desentralisasi (terirorial) dan dekosentrahisasi, dimana
mekanisme mengatur dan mengurusi rumah tangganya sendiri, dengan
memperhatikan kemampuan masing-masing daerah.
5. UU No.18 Tahun 1965 a. A. Otonomi teritorial yang riil dan seluas-luasnya, serta menjalankan politik
b. dekosentrasi sebagai komplemen yang vital
Rumusan prinsip atau asas otonomi dalam Undang Undang 1945-2010
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
315
(Sumber: Marbun, B.N, Op. Cit., Hlm. 45)
Penjelasan dan deskripsi yang panjang menggam-barkan perjalanan kebijaksanaan otonomi atau
desentralisasi di Indonesia yang telah diperjuangkan
semenjak negeri ini merdeka. Akan tetapi, ada satu hal
yang menjadi pelajaran berharga bagi Negara Kesatuan
Republik Indonesia adalah perubahan kebijaksanaan
pemerintahan daerah sangat ditentukan oleh konfigurasi
politik nasional yang berkembang dari waktu ke waktu.
Oleh karenanya, perkembangan politik di Jakarta atau
pusat yang dinamis dan mengarah pada demokratisasi,
tentu sangat menguntungkan bagi iklim demokrasi di
tingkat lokal yang menjadi tulang punggung demokrasi
daerah. Namun, sebaliknya bila pusat cenderung ke
arah otoritarianisme maka akan memunculkan
pemerintahan yang sentralistik, yang sangat membawa
implikasi yang tidak menguntungkan bagi perkem-bangan pembangunan dan demokrasi daerah secara
keseluruhan.
D. Metodologi
Penelitian ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan menganalisis perkembangan pene-rapan Otonomi Daerah dan Desentralisasi di Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berpedoman pada
Undang-Undang mengenai Pemerintahan Daerah yang
berlaku saat ini, yaitu UU No. 32 Tahun 2004. Penelitian
ini termasuk jenis penelitian dasar (basic research) dan
termasuk dalam penelitian jenis deskriptif. Penelitian
dasar yang dimaksud adalah penelitian yang berupa
penegasan kembali atau pembuktian dari suatu
pernyataan atau teori yang sudah ada sehingga berguna
untuk memperkuat pernyataan atau teori yang semula
(Riyanto, 2004: 4). Sumber data penelitian yang
digunakan sebagaimana lazimnya peneliti, yaitu:
Pertama, Data Primer, yaitu bahan-bahan yang
mengikat yang berkaitan dengan penelitian. Kedua, Data
sekunder, merupakan data-data penunjang seperti
peraturan perundangan mengenai otonomi daerah,
desentralisasi, dan Negara Kesatuan Republik Indone-sia (NKRI). Langkah-langkah dalam menganalisis data
dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Pertama-tama, melukiskan variabel, mengidentifikasi teori secara
sistematis, penemuan pustaka, dan menganalisis
dokumen yang meliputi informasi yang berkaitan dengan
fokus penelitian. Kedua, semua data yang didapat
dilakukan analisis secara kualitatif tanpa mengunakan
angka-angka atau model statistik, matematika,
ekomotorik, dan model-model tertentu seperti
penghitungan eksakta lainnya.
E. Pembahasan dan Hasil Penelitian
Berikut ini beberapa hasil penelitian kajian Undang-Undang tentang pemerintahan daerah mengenai
otonomi daerah dan desentralisasi dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kajian Teoritis UU No. 5 Tahun 1974
Undang-undang Nomor 5 tahun 1974, tentang
pokok-pokok pemerintahan di daerah tersebut
merupakan koreksi dan penyesuaian baru dari UU
nomor 18 Tahun 1965 sesuai dengan pergantian orde
lama ke orde baru. Konfiguasi politik orde baru yang
otoritarian melahirkan Undang-undang pemerintahan
daerah seperti itu. Presiden merupakan penentu agenda
kebijaksanaan publik di Indonesia, terutama karena re-sources yang dimilikinya. (Syaukani, dkk, 2009:124-125).
Menurut Syaukani, dkk (Syaukani, dkk, 2009:145-150), ada beberapa karateristik yang menonjol dari
prinsip penyelenggaraan pemerintahan UU Nomor 5
Tahun 1974, yaitu:Pertama, Wilayah negara dibagi ke
dalam Daerah besar dan kecil yang bersifat otonom atau
administratif saja. Kedua, pemerintahan daerah
diselenggarakan secara bertingkat, yaitu Daerah Tingkat
I, Daerah tingkat II sebagai Daerah Otonom, dan
kemudian wilayah administrative berupa provinsi,
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
316
kabupaten/kotamadya, dan kecamatan. Ketiga, DPRD
Tingkat I maupun Tingkat II dan kotamadya merupakan
bagian dari Pemerintahan Daerah. Keempat, peranan
Menteri Dalam Negeri dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dapat dikatakan bersifat sangat
eksesif atau berlebih-lebihan yang diwujudkan dengan
melakukan pembinaan langsung terhadap daerah.
Kelima, UU ini memberikan tempat yang sangat
terhormat dan sangat kuat kepada Kepala Wilayah
ketimbang kepada Kepala Daerah. Keenam, Keuangan
Daerah sebagaimana umumnya dengan undang-undang terdahulu, diatur secara umum saja. Daerah juga
mendapat bantuan dari Pemerintahan Pusat berupa
“Pemberian Pemerintah”, sebuah istilah yang me-nandakan kemurahan hati Pemerintahan di Jakarta.
Berdasarkan penjelasan diatas, konsep otorita-rianisme dan sentralisme sangat dominan dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah UU No. 5 Tahun
1974. Tidak heran bahwa logika asas yang digunakan
dalam UU ini secara bersama-sama dengan seimbang
dan serasi menganut Asas Dekonsentrasi, Asas
Desentralisasi, Asas Pembantuan. Dengan pengunaan
tiga asas sekaligus, sesungguhnya mengaburkan
makna otonomi daerah dan dalam prakteknya ternyata
pemerintah bertitik berat pada asas dekosentrasi. Hal
ini menurut B.N Marbun ( Marbun, 2010: 90) disebabkan
kewenangan menentukan Kepala Daerah Propinsi
adalah pada Presiden, dan Kepala Daerah Kabupaten/
Kotamadya adalah Menteri Dalam Negeri. Peran DPRD
hanya menentukan pilihan calon untuk disarankan
diputuskan oleh pemerintah. Di sisi lain, Undang-Undang
ini tidak mengatur tentang pelaksanaan pemerintahan
tingkat desa.
Kajian Teoritis UU Nomor 22 Tahun 1999
Titik balik penting dalam sejarah desentralisasi di
Indonesia adalah tahun 1999. Di mana bangsa Indo-nesia yang berupaya keras untuk mengubah pola
hubungan pusat-daerah yang paternalistik dan
sentralistik yang terjadi pada masa orde baru dengan
penerapan UU Nomor 5 tahun 1974. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan menjadi pola
hubungan pusat-daerah yang bersifat kemitraan dan
sentralistik yang tertuang dalam UU No. 22 tahun 1999
dan UU No. 25 tahun 1999.
Undang-undang ini sesungguhnya merupakan
produk pemerintahan Bj. Habibie yang hampir
merupakan “anti-tesis” dari UU Nomor 5 tahun 1974
tentang pokok-pokok Pemerintahan Daerah yang
berlaku di masa pemerintahan Soeharto. Sejak
dilaksanakan pada tanggal 1 Januari 2001 lalu UU
tersebut telah ikut berperan dalam membuka
kebebasan pers da “keran-keran” demokrasi di tingkat
lokal bersamaan kebebasan pers dan sistem multipartai
(Karim,dkk, 2003:73).
Menurut UU Nomor 22 Tahun 1999, daerah otonomi
tidak menganut sistem bertingkat dan hanya mengenal
2 (dua) daerah otonomi, yaitu Provinsi dan Kabupaten/
kota yang dapat dirumuskan sebagai berikut (Marbun,
2010:102-103): Pertama, Wilayah Negara Republik In-donesia dibagi dalam Daerah Provinsi, kabupaten, dan
kota yang bersifat otonomi. Kedua,Daerah-daerah ini
masing-masing berdiri sendiri dan tidak mempunyai
hubungan hierarki (pasal 4 UU Nomor 22 Tahun 1999).
Ketiga,Daerah Provinsi berkedudukan juga sebagai
Daerah Administratif.
Ada beberapa ciri khas yang menonjol dalam
Undang-Undang ini (Syaukani, 2009:185-190), yaitu
Pertama, Demokrasi dan Demokratisasi. Kedua,
Mendekatkan Pemerintah Dengan Rakyat. Titik berat
otonomi daerah dipokuskan kepada Daerah Kabupaten
dan Kota, bukan kepada Daerah Propinsi. Ketiga,
Sistem Otonomi Luas dan Nyata. Keempat, Tidak
Menggunakan Sistem Otonomi Bertingkat.Dalam
sistem ini, Pejabat Pemerintahan daerah yang lebih
tinggi juga sekaligus merupakan atasan dari pejabat
yang ada di daerah otonom yang lebih rendah. Kelima,
No Mandate Without Funding.Penyelenggaraan tugas
pemerintah di daerah harus dibiayai dari dana Anggaran
Belanja dan Pendapatan Negara (Pasal 78 ayat 2), dan
“Penyerahan atau pelimpahan kewenangan Pemerintah
Pusat kepada Gubernur atau penyerahan kewenangan
atau penugasan Pemerintahan Pusat kepada Bupati/
Walikota diikuti dengan pembiayaannya” (Pasal 2 ayat
{4} UU PK no. 25 tahunn 1999). UU Nomor 22 tahun
1999 mengandung prinsip yang sebaliknya, yaitu money
follows funftion. Artinya Daerah diberi kewenangan yang
seluas-luasnya dan dengan kewenangan itu maka
Daerah akan menggunakannya untuk menggali sumber
dana keuangan yang sebesar-besarnya sepanjang
bersifat legal dan diterima oleh lapisan masyarakat.
Keenam, Penguatan Rakyat Melalui DPRD.
Setelah UU No.22 Tahun 1999 berlaku lebih kurang
4 (empat) tahun, muncul berbagai distorsi dalam
implementasinya, bahkan muncul “ketegangan” antara
Pusat dan Daerah berkaitan dengan kebijakan Pusat
yang dipandang tidak sesuai dengan aspirasi Daerah.
misalnya Peraturan Pemerintah tentang urusan otonomi
untuk Kabupaten dan Kota. Akan tetapi Pemerintah
justru mengeluarkan Keputusan Presiden No.5 Tahun
2001 tentang Pelaksanaan Pengakuan Kewenangan
Kabupaten/Kota, yang kemudian ditindaklanjuti dengan
menerbitkan Keputusan Menteri Dalam Negeri No.130-67 Tahun 2002 tanggal 20 Pebruari 2002 tentang
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
317
Pengakuan Kewenangan Kabupaten dan Kota.
(Ni’matul, 2007:73).
Menurut Tri Ratnawati, beberapa penyebab
problematika UU nomor 22 tahun 1999 ini adalah
pertama, salah asumsi oleh para penyusun UU Nomor
22 tahun 1999. UU ini dibuat dengan asumsi normal
seperti membayangkan seolah-olah setelah Soeharto
‘lengser’ maka demokrasi, politik, dan ekonomi akan
berjalan lurus dan mulus, namun kenyataaannya tidak.
Kedua, adalah inherent dalam UU Nomor 22 tahun 1999
itu sendiri.
Dalam UU ini bisa dilihat banyaknya inkosistensi
antar pasal-pasal, disamping adanya pasal yang multi
tafsir. Secara keseluruhan UU tersebut kurang
fungsional (sulit diimplementasikan) karena terlalu
banyak peraturan pelaksana yang diminta untuk
menindaklanjutinya. Ketiga,berkaitan dengan masalah
persepsi para elit. Otonomi daerah yang seharusnya
dilihat para elit (pusat maupun daerah) sebagai instru-ment kesejahteraan masyrakat, demokratisasi, dan
integrasi bangsa, digampangkan dengan hanya bagi-bagi kekuasaan. Kelima, Belum terciptanya organisasi
pemerintahan daerah yang efisien dalam melayani
publik, dan belum terlihatnya ‘tingkah laku’ pejabat
pemerintah yang reformis dan professional (Karim, dkk,
2003:98-99). Inilah beberapa hal sekelumit masalah
yang timbul setelah berlakunya UU Nomor 22 tahun
1999 dari banyak masalah yang terjadi ini timbul dari
sebuah variabel latar belakang politik yang unik. Otonomi
daerah ini muncul, akibat adanya respons tekanan dan
tuntutan publik akan pelaksanaan clean government and
good governance, diilhami oleh asumsi teoritis bahwa
otonomi daerah akan menciptakan masa depan yang
lebih baik bagi Indonesia
Kajian Teoritis UU Nomor 32 Tahun 2004
Gagasan baru pengganti UU Nomor 22 tahun 1999
yang dimaksud adalah UU nomor 32 Tahun 2004. Belum
genap 4 tahun perjalanan efektif UU No.22 Tahun 1999,
Pemerintah telah mengeluarkan UU No.32 Tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah. Menurut Marbun, B.N, ada
beberapa latar Belakang Situasi dan Nuansa Pem-bentukan UU Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Peme-rintahan Daerah sebagai berikut (Marbun, 2010:107-108): Pertama, Adanya pergeseran suasana dan
pergeseran kekuatan politik di Indonesia tergambar
dalam konsideran menimbang Undang-undang Nomor
32 Tahun 2004 Kedua, Suasana reformasi mendapat
tafsir yang kurang tepat. Ketiga, Masalah Otonomi
Khusus bagi Aceh dan Papua dan prinsip Negara
Kesatuan. Keempat, DPRD dan Pemerintah daerah
“mabuk” reformasi dan membuat Perda yang tumpang
tindih dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Kelima, Maraknya korupsi di DPRD seluruh Indonesia.
Keenam, DPRD bertindak “overacting” berhadapan
dengan Kepala Daerah terutama menyangkut Laporan
Pertanggungjawaban (LPJ) setiap akhir tahun dan pada
masa akhir jabatan Kepala Daerah. Ketujuh, Aman-demen UUD 1945 oleh MPR.
Namun, yang paling penting dikritisi dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan daerah ini adalah
masalah Otonomi Khusus Aceh, Otonomi Khusus
Papua, dan Daerah istimewa yogyakarta tidak secara
rinci dan detail alasan yang kuat mengapa diberikan
otonomi khusus pada Aceh dan Papua, bahkan dapat
dikatakan tidak ada secara tertulis penekanan daerah-daerah khusus tersebut dalam Undang-Undang nomor
32 tahun 2004 ini. Yang ada dalam Bab I Pasal 1 ayat
(19) UU. Nomor 32 tahun 2004 ini menyebutkan
Kawasan khusus yang dimaksud untuk kepentingan
nasional. Pertanyaannya adalah mengapa ada wilayah
yang diberikan otonomi khusus dan ada yang tidak.
Inilah yang perlu disikapi dengan bijak dan adil, serta
harus ada tolak ukur daerah yang dikatakan khusus dan
tertulis dalam undang-undang dengan keputusan
konstitusional dan konsensus nasional.
Bila dikaji lebih jauh latar belakang dan alasan
diberikanya Otonomi Khusus Aceh, Papua, dan Daerah
Istimewa Yogyakarta oleh pemerintah beserta peraturan
perundangannya dapat dijelaskan sebagai berikut.
Pertama adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap
Papua didasari secara dasar hukumnya pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21 tahun 2001
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Papua. Dalam
UU tersebut menyebutkan ada beberapa pokok-pokok
penting yang latar belakang pemerintah pusat
mempertimbangkan Otonomi Khusus Papua terutama2
:
bahwa poin keduapenyelenggaraan pemerintahan dan
pelaksanaan pembangunan di Provinsi Papua selama
ini belum sepenuhnya memenuhi rasa keadilan, belum
sepenuhnya memungkinkan tercapainya kesejahteraan
rakyat, belum sepenuhnya mendukung terwujudnya
penegakan hukum, dan belum sepenuhnya menam-pakkan penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia di
Provinsi Papua, khususnya masyarakat Papua; dan poin
keempat, bahwa telah lahir kesadaran baru di kalangan
masyarakat Papua untuk memperjuangkan secara
damai dan konstitusional pengakuan terhadap hak-hak
dasar serta adanya tuntutan penyelesaian masalah yang
berkaitan dengan pelanggaran dan perlindungan Hak
2
Lihat Undang-Undang 21 tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
318
Asasi Manusia penduduk asli Papua.
Melihat alasan yang dikemukan diatas sesungguh-nya keadaan masyarakat Papua biasa, tidak ada yang
bersifat khusus. Semua hal-hal khusus yang dikemukan
diatas juga sebenarnya ada pada/ pernah dialami daerah
lain di Indonesia. Seperti kekayaan alam Papua belum
dimanfaatkan. Hal tersebut juga terjadi pada daerah
yang kaya dengan Sumber Daya Alam seperti
Kalimantan, Riau, Kepulauan Riau, dan lain-lain.
Kemungkinan kekwatiran terbesar pemerintah pusat
pada keinginan kelompok berpengaruh di Papua, yaitu
Majelis Rakyat Papua yang ingin merdeka dan juga ada
kepentingan Amerika di Papua. Jadi masalah Papua
sudah masuk pada tataran internasional.
Kedua, adalah pemberian Otonomi Khusus terhadap
Aceh didasari secara dasar hukumnya pada Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2006
Tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi Aceh. Dalam UU
tersebut menyebutkan beberapa pokok-pokok penting
yang melatarbelakang pemerintah pusat memper-timbangkan Otonomi Khusus Aceh berdasarkan
3
: Poin
kedua, bahwa ketahanan dan daya juang tinggi tersebut
bersumber dari pandangan hidup yang berlandaskan
syari’at Islam yang melahirkan budaya Islam yang kuat.
Dan Poin Ketiga, bahwa penyelenggaraan pemerin-tahan dan pelaksanaan pembangunan di Aceh belum
dapat sepenuhnya mewujudkan kesejahteraan rakyat,
keadilan serta pemajuan, pemenuhan, dan perlindungan
hak asasi manusia; serta poin Kelima, bencana alam
gempa bumi dan tsunamiyang terjadi di Aceh telah
menumbuhkan solidaritas seluruh potensi bangsa In-donesia untuk membangun kembali masyarakat dan
wilayah Aceh serta menyelesaikan konflik secara damai,
menyeluruh, berkelanjutan, dan bermartabat dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia;
Bila ditelaah lebih jauh alasan pemerintah mem-berikan otonomi khusus Aceh tersebut dapat dipahami
terlalu lamanya konflik dengan pusat berlangsung dan
terjadinya mala petaka gempa bumi dan tsunami di
Aceh. Ini artinya rasa kasihan yang sangat kuat dari
segenap rakyat Indonesia terhadap penderitaan
masyarakat Aceh. Sebenarnya kejadian gempa bumi
juga terjadi di daerah lain seperti Kabupaten Kerinci
Provinsi jambi tahun 1995, Gempa bumi di Padang, dan
daerah lainnya. Namun menurut penulis kemungkinan
besar pada pandangan hidup rakyat Aceh berdasarkan
Syari’at Islam yang kebetulan Indonesia sebagian besar
penduduk Islam. Maka pemerintah kuatir kehilangan
aset Islam di Aceh.
Berkaitan dengan Daerah Istimewa Yogyakarta,
tentu kasusnya berbeda dengan kedua daerah otonomi
khusus tersebut. Hal tersebut karena Yogyakarta
dibentuk pertama kali sebagai daerah istimewa
berdasakan UU No. 3 tahun 1950, yang menyebutkan
“pembentukan Daerah Istimewa Yogyakarta”.Karena
kekhususan dn keragaman budaya Yogyakarta,
disamping pernah menjadi ibukota Negara Republik In-donesia, yang dianggap menyelamatkan negara
kesatuan dari penjajahan Belanda.
Melihat implementasi otonomi daerah dan desen-tralisasi sejak 1945 sampai sekarang, masih banyak
terdapat politikus, atau sekelompok ahli tata negara,
yang menghendaki Negara Kesatuan Republik Indone-sia secara sentralistik dengan alasan bahwa praktek
otonomi luas berpotensi melahirkan kehendak pemi-sahan diri dari NKRI dan alasan lainnya. Mengapa hal
tersebut bisa terjadi, apakah benar bahwa sesung-guhnya kelahiran UU nomor 32 tahun 2004 tentang
otonomi daerah ini tidak didasarkan pada kehendak
politik (political will) yang tulus dari pemerintah?, karena
kebijaksanaan itu hanya sebagai respon untuk meredam
munculnya tuntutan dari beberapa bagian wilayah In-donesia yang hendak memisahkan diri dari NKRI.
Bila ditelaah Undang-undang tersebut terdapat
beberapa pemikiran rasionalitas, yaitu: Pertama,istilah
kewenangan pemerintahan daerah diubah menjadi
urusan pemerintahan daerah. Bahasa ’kewenangan’
memiliki nuansa politik sebagai kedaulatan. Sedangkan
bahasa ’urusan’ dipahami hanya pada aspek adminis-tratif saja. Kedua, pola pengendalian pemerintahan yang
hirarkis dari pemerintah desa hingga pemerintah pusat
kuat. Ketiga, beberapa peraturan pemerintah sebagai
pelaksanaan dari UU No. 32 Tahun 2004, semakin
menunjukkan kepada kita bahwa telah terjadi titik balik
desentralisasi. Seperti PP No. 38 Tahun 2007 Tentang
Pembagian Urusan antara Pemerintah, Pemerintah
Propinsi, dan Pemerintah Kabupaten/Kota dan, PP No.
41 Tahun 2007 Tentang Organisasi Perangkat Daerah.
Dengan diberlakukannya kedua PP tersebut menandai
terpasangnya kembali fondasi pemerintahan sentralistis,
yang hendak dibongkar melalui UU No. 22 Tahun 1999.
Pilihan terhadap desentralisasi ini dalam rangka
efektivitas dan efesiensi dalam penyelenggaraan
pemerintahan guna mengembangkan demokratisasi di
daerah, sehingga daerah menjadi kuat. Dengan prinsip
otonomi yang luas kepada daerah, maka diharapkan
integrasi dan keutuhan Negara Kesatuan Republik In-donesia terpelihara dengan baik. Dengan demikian
harga diri dan martabat masyarakat di Daerah akan kuat
dan kembali seperti pada awal negara kesatuan ini
3
Lihat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
319
dibentuk. Semakin kuat daerah maka negara-bangsa
akan semakin maju. Namun, sebaliknya bila pemerintah
tidak mampu membina dan bahkan membiarkan daerah
tanpa adanya sokongan di seluruh aspek, serta daerah
diperlakukan ketidakadilan, maka celah atau peluang
bagi daerah untuk memisahkan diri dari NKRI akan kuat
bahkan membesar.
Pada akhirnya masa depan otonomi daerah ini
terletak pada posisi daerah yang kuat. Bila daerah
diberikan otonomi yang seluas-luasnya akan menopang
integrasi nasional dan keutuhan kesatuan Republik In-donesia. Dengan demikian keinginan beberapa
kalangan kelompok politik di Indonesia untuk membuat
negara federal di Indonesia sulit terealisasi. Untuk
memudahkan otonomi ini, maka pemerintahan wajib
memberikan fasilitas yang berupa pemberian peluang
kemudahan, bantuan, dan dorongan kepada daerah
agar dalam melaksanakan otonomi dapat secara efisien
dan efektif sesuai peraturan perundangan yang berlaku.
Dengan demikian pilihan kita terhadap desentralisasi
dalam negara kesatuan semestinya dilakukan secara
baik, sehat, dan bertanggungjawab. Inilah pilihan ke
depan yang tepat dengan Negara Kesatuan yang
didesentralisasikan bisa memperkuat integrasi nasional.
Daerah juga harus mampu menjamin hubungan yang
serasi dengan pemerintah. Agar otonomi daerah dapat
dilaksanakan sejalan dengan tujuan yang hendak
dicapai, maka pemerintah wajib melakukan pembinaan
yang berupa pemberian pedoman seperti dalam
penelitian, pengembangan, perencanaan dan peng-awasan.
F. Kesimpulan
Setelah penulis medeskripsikan dan menjelaskan isi
penelitian ini sesuai dengan permasalahan dalam
penelitian tersebut, maka penulis menarik beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
Pertama, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah menyangkut Otonomi
Daerah dan Desentralisasi dalam rangka menyikapi
persoalan-persoalan kebangsaan di Negara Kesatuan
Republik Indonesia sekarang ini perlu direvisi. Karena
masih ada celah atau kelemahan dalam undang-undang
tersebut terutama dalam hal implementasi dari
kebijaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi
ternyata tidak sesuai dengan konsep kebijaksanaannya.
Akibatnya terjadi ketidakharmonisan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah. Daerah merasa
diperlakukan secara tidak adil oleh pusat. Disamping
itu, konsep otonomi khusus bagi aceh, Otonomi Khusus
Papua, dan Daerah Istimewa Yogyakarta masih menjadi
momok dan kegelisahan bagi daerah lainnya yang
mempunyai sumber daya alam yang kaya seperti
Kalimantan, Riau, Kepaulauan Riau, dan daerah lainnya.
Kedua, diperlukan penataan kembali penyeleng-garaan otonomi daerah dalam UU nomor 32 tahun 2004
tersebut dengan memetakan kembali implementasi
sesuai dengan substansi desentralisasi dan otonomi
daerah pasca UU Nomor 32 Tahun 2004. Hal tersebut
dilakukan untuk mencegah munculnya gerakan-gerakan
di pusat yang tidak menghendaki otonomi daerah di In-donesia ini ‘subur’ dan ‘berkembang’. Sehingga di
daerah akan timbul gejolak dan dinamika persoalan-persoalan otonomi dan desentralisasi dari masyarakat
daerah yang tidak mustahil berbuat deskruptif dan
membahayakan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia akibat dari terjadi ketidakkonsistenan dan
ketidakselarasan Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004
terhadap peraturan UUD 1945 Pasal 18 tentang
Pemerintahan Daerah di lapangan.
Saran
Ada beberapa saran-saran yang perlu diperhatikan,
yaitu Pertama,agar pemerintahan Pusat pro-aktif
mengkaji lebih dalam bagaimana sebenarnya penye-lenggaraan otonomi di daerah-daerah, mengapa muncul
gejolak masyarakat daerah, bukan melakukan tindakan
represif dengan kekuatan militer. Kedua, berdasarkan
atas berbagai masalah ketidakkonsistenan, kese-larasan, dan ketidaksejalannya UU Nomor 32 tahun
2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945 Negara Republik
Indonesia tentang Pemerintahan Daerah. Maka penulis
menyarankan diperlukan penulusuran lebih jauh
implementasi apa yang dimaksud dengan ketentuan-ketentuan penyelengaraan otonomi daerah menurut UU
Nomor 32 tahun 2004 sebagai upaya meluruskan
kembali peraturan-peraturan yang ada dalam UU Nomor
32 tahun 2004 terhadap Pasal 18 UUD 1945, sehingga
maksud dan tujuan otonomi daerah ini menjadi jelas.
Ketiga, Judicial review UU Nomor 32 tahun 2004 ke
Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya dilakukan bila
ditemukan di lapangan masalah UU tersebut yang
mengarah pada disintegrasi bangsa, dan lain se-bagainya.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
320
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Benedict R.O’G, (1999), “ Indonesian
Nationalism Today and in the Future”. Indone-sia, no. 67, April.
Riwukaho, Josef, (2001), Prospek Otonomi Daerah di
Negara Republik Indonesia. Jakarta: Raja
Grafindo Persada
Marbun, B.N, (2010), Otonomi Daerah 1945 – 2010
Proses dan Realita, Pustaka Sinar Harapan,
Jakarta
Abdul Gaffar Karim (Ed), (2006), Kompleksitas
Persoalan Otonomi Daerah Di Indonesia,
Jurusan ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial
dan ilmu politik Universitas Gadjah Mada,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Iglesias,U Gabriel, regionalization and Regional Develop
ment in the Philippines, UP-CPA, Manila, 1978.
Riyanto, Adi Metodologi Penelitian Social Dan Hukum,
Jakarta Granit, 2004.
Widjaja, HAW, (2009), Otonomi Daerah Dan Daerah
Otonom, RajaGrafindo persada, Jakarta.
Syaukani, Afan Gaffar, dan Ryaas Rasyid (2009),
Otonomi Daerah dalam Negara Kesatuan.
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Wignyosoebroto, Soetandyo, (2004), “Desentralisasi
Dalam Tata Pemerintahan Kolonial Hindia
Belanda”, Banyumedia.
Said, Mas’ud, (2007), “Driving Forces dan Arah Baru
Otonomi Daerah di Indonesia”,Jurnal Ilmu
Pemerintahan, Masyarakat Ilmu Pemerintahan
Indonesia (MIPI), No. 24.
Manan, Bagir, (2004), Menyongsong Fajar Otonomi
Daerah, Pusat Studi Hukum UII,
Yogyakarta.
Otonomi Daerah dan Desentralisasi dalam
Bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
321
Rabu, 07 Mei 2014
Upaya hukum merupakan upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk hal tertentu untuk melawan putusan hakim sebagai tempat bagi pihak-pihak yang tidak puas dengan putusan hakim yang dianggap tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, tidak memenuhi rasa keadilan, karena hakim juga seorang manusia yang dapat melakukan kesalahan/kekhilafan sehingga salah memutuskan atau memihak salah satu pihak.
Upaya hukum luar biasa
Disebut upaya hukum luar biasa karena:
o Diajukan dan ditujukan terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap.
o Upaya ini hanya dapat dilakukan dalam keadaan tertentu, bukan terhadap semua putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum yang tetap.
o Upaya hukum luar biasa diajukan kepada mahkamah agung sebagai pemeriksa, serta pembuat keputusan sebagai instansi pertama dan terakhir.
Uapaya hukum luar biasa dilakukan terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Mencakup:
a. Upaya Hukum Luar Biasa: Peninjauan Kembali
Apabila terdapat hal-hal atau keadaan-keadaan yang ditentukan dengan undang-undang, terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dapat dimintakan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung dalam perkara perdata dan pidana oleh pihak-pihak yang berkempentingan. [pasal 66-77 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004]
Alasan-alasan peninjauan kembali menurut pasal 67 UU no 14/1985 jo. UU no 5/2004, yaitu:
a. ada novum atau bukti baru yang diketahui setelah perkaranya diputus yang didasarkan pada bukti-bukti yang kemudian oleh hakim pidana yang dinyatakan palsu;
b. apabila setelah perkara diputus, ditemukan surat-surat bukti yang bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak dapat ditemuksn;
c. apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut/lebih daripada yang dituntut;
d. apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya;
e. apabila dalam satu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim/suatu kekeliruan yang nyata.
Tenggang waktu pengajuan 180 hari setelah putusan berkekuatan hukum tetap. (pasal 69 UU 14/1985). Mahkamah Agung memutus permohonan peninjauan kembali pada tingkat pertama dan terakhir (pasal 70 UU no 14/1985).
Tata cara mengajukan peninjauan kembali meliputi;
a.) Permintaan peninjauan kembali diajukan baik secara tertulis maupun lisan dengan mengemukakan alasan-alasan yang mendasari permintaan peninjauan kembali kepada panitera yang memutus perkara itu pada tingkat pertama tanpa batas waktu.
b.) Kemudian panitera membuat akta permintaan PK yang ditanda tangani oleh permohonan panitera. Kemudian berkas tersebut disampaikan kepada mahkamah agung melalaui ketua pengadilan.
2.b Upaya Hukum Luar Biasa: Denderverzet
Terjadi apabila dalam suatu putusan pengadilan merugikan kepentingan dari pihak ketiga, maka pihak ketiga tersebut dapat mengajukan perlawanan terhadap putusan tersebut. Dasar hukumnya adalah 378-384 Rv dan pasal 195 (6) HIR.
Dikatakan sebagai upaya hukum luar biasa karena pada dasarnya suatu putusan hanya mengikat pihak yang berperkara saja (pihak penggugat dan tergugat) dan tidak mengikat pihak ketiga (tapi dalam hal ini, hasil putusan akan mengikat orang lain/pihak ketiga, oleh sebab itu dikatakan luar biasa).
Denderverzet diajukan ke Pengadilan Negeri yang memutus perkara tersebut pada tingkat pertama.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekusi dan atau sita jaminan tidak hanya terhadap suatu benda yang padanya melekat hak milik melainkan juga hak-hak lainnya. Pihak pelawan harus dilindungi karena Ia bukan pihak berperkara namun dalam hal ini kepentingannya telah tersentuh oleh sengketa dan konflik kepentingan dari penggugat dan tergugat. Untuk dapat mempertahankan dimuka dan meyakinkan pengadilan dalam mengabulkan perlawanannya maka Ia harus memiliki alas hak yang kuat dan dapat membuktikan bahwa benda yang akan disita tersebut adalah haknya. Dengan demikian, maka Ia akan disebut sebagai pelawan yang benar dan terhadap peletakan sita akan diperintahkan untuk diangkat. Perlawanan pihak ketiga ini merupakan upaya hukum luar biasa tetapi pada hakikatnya lembaga ini tidak menunda dilaksanakannya eksekusi.
Perlawanan pihak ketiga terhadap sita jaminan baik conservatoir ataupun revindicatoir tidak diatur baik dalam HIR, RBg ataupun Rv, ketentuan mengenai hal tersebut didapatkan dari yurisprudensi putusan Mahakamah Agung tanggal 31 Oktober 1962 No.306 K/Sip/1962 dalam perkara CV. Sallas dkk melawan PT. Indonesian Far Eastern Pasifik Line.
Sumber : http://www.djkn.depkeu.go.id
Langganan:
Postingan (Atom)