Translate

Kamis, 24 April 2014

aku akan berjuang untukmu mungkin kamu akan menjauh saat ini dan orangtuamu tidak menyetujui hubungan kita..aku akan datang menjemputmu kelak dimana ayah,papa,dan adik" termasuk kamu akan senang melihat kesuksesan ku dan disitulah aku akan mengutarakan niatku untuk memebawa kamu hidup bersamaku,mewujudkan cita-cita kita berdua pergi bersama keluarga kita ke Raja Ampat dan keinginan kamu yang akan pergi melbouerne,aku juga akan membawa kamu ketempat impianku ke prancis dan belanda... aku setia menunggu disini,menyayangimu sampai sekarang,berdoa juga untuk kamu..aku benar" tersiksa pikiranku,hanya butuh kamu dimana kita berdua saling menasehati satu sama lain,aku gak hanya sayang ama kamu aku juga sayang ama adik" kamu seperti adek ku juga..I LOVE YOU NELLA LEONARITA :(, sangat sangat cinta ama mu jangan lah kamu melupakan aku begitu saja...
Kasasi atas Vonis Bebas, Yurisprudensi yang Menerobos KUHAP Pihak yang pertama kali menerobos pasal 244 KUHAP justru eksekutif, dalam hal ini Menteri Kehakiman. Menteri mengeluarkan pedoman KUHAP yang dalam lampirannya menyebut kasasi atas vonis bebas dapat diajukan demi hukum, keadilan dan kebenaran. Mys/Mon/CR1 Dibaca: 18454 Tanggapan: 30 Rombongan pengacara dipimpin Mahendradatta menyambangi Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, 15 Januari lalu. Anggota tim penasihat hukum Muchdi Purwoprandjono itu rencananya hendak bertemu Zahrul Rabain, Ketua Pengadilan. Tuan rumah sedang tak di tempat, sehingga rombongan pengacara tadi hanya diterima Panitera Pengadilan, Lilies Djuaningsih. Maksud kedatangan rombongan tersebut jelas. Menurut Mahendradatta, mereka ingin meminta Ketua Pengadilan tak meneruskan kasasi yang diajukan jaksa. Kalau upaya hukum tetap dilakukan, sama saja pengadilan menabrak undang-undang yang rumusannya sudah jelas. Kami minta ketua pengadilan tidak mengirimkan berkas kasasi JPU, tandasnya. Wet yang ditabrak tak lain adalah pasal 244 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Pasal ini merumuskan bahwa terhadap putusan bebas tidak dapat diajukan kasasi. Logikanya, pihak yang mengajukan kasasi jika terdakwa dibebaskan adalah penuntut umum. Rumusan pasal 244 sangat jelas. Sehingga, menurut Mahendratta, tidak ada alasan bagi PN Jakarta Selatan untuk meneruskan berkas permohonan kasasi dari JPU. Kalaupun diteruskan, terlebih dahulu ada pendapat hukum dari Mahkamah Agung (MA). Singkatnya, berdasarkan pasal 244 KUHAP, putusan hakim tingkat pertama yang membebaskan terdakwa dari segala dakwaan tidak bisa dikasasi ke Mahkamah Agung. Amar itu pula yang belum lama diputus majelis hakim PN Jakarta Selatan terhadap terdakwa Muchdi Purwoprandjono, terdakwa penganjur pembunuhan aktivis HAM, Munir. Menyatakan terdakwa H. Muchdi Purwoprandjono tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan kepadanya, tegas ketua majelis hakim, Suharto. Muchdi bukan hanya dibebaskan dari segala dakwaan, tetapi juga harus segera dilepas dari tahanan. Memerintahkan agar terdakwa dibebaskan dari tahanan segera setelah putusan ini diucapkan, begitu antara lain amar yang dibuat majelis hakim Suharto, Achmad Yusak, dan Haswandi. Vonis bebas itu sontak menuai kontroversi. Komite Aksi Solidaritas untuk Munir (Kasum), komite yang selama ini mengadvokasi kematian Munir, mengecam putusan majelis. Suciwati, isteri almarhum Munir, langsung tertundu lesu dan menitikkan air mata mendengar vonis bebas itu. Sebaliknya, terdakwa Muchdi tak bisa menutup kegembiraan. Seusai sidang, ia langsung mengucapkan syukur. Pendukungnya pun langsung berteriak hidup Muchdi, lalu menyanyikan lagu Indonesia Raya. Lonceng perlawanan terhadap vonis itu datang dari Kejaksaan Agung. Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan, M. Jasman Panjaitan menyatakan penuntut umum mengajukan kasasi. Pernyataan Jasman disusul aksi Cirus Sinaga, penuntut umum perkara Muchdi, menandatangani akta kasasi di Kepaniteraan PN Jakarta Selatan tiga hari sebelum rombongan Mahendradatta datang. Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga memastikan penuntut umum Cirus Sinaga sudah menyampaikan memori kasasi ke Kepaniteraan PN Jakarta Selatan, Jum'at (23/01) pagi. Jaksa memutuskan kasasi karena beberapa hal. Pertama, kata Ritonga, ada ketentuan hukum yang tidak dilaksanakan majelis sebagaimana mestinya. Kedua, ada proses peradilan yang tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya, atau hakim melampaui wewenang. Apakah alasan-alasan itu ditemukan dalam keputusan yang ada, menurut jaksanya dapat ditemukan, tegas Ritonga. Ditambahkan Jasman Panjaitan, JPU akan mempersoalkan penerapan hukum. Kejaksaan menilai hakim salah menerapkan hukum. Meskipun tak menjelaskan detail kesalahan penerapan hukum dimaksud, tekad Kejaksaan untuk kasasi sudah bulat. Pasal 244 KUHAP bukan halangan yuridis karena --di mata Kejaksaan�vonis bebas Muchdi bukan bebas murni. Putusan PN Jakarta Selatan itu bukan bebas murni, ujarnya. Bebas: Murni atau Tidak? Kontroversi dan perdebatan hukum akhirnya bergeser pada isu ini: bebas murni atau bebas tidak murni. Dari enam poin amar majelis tak satu pun yang menyebut sifat vonis tersebut. Majelis hanya menyatakan membebaskan terdakwa dari semua dakwaan. Pengamat hukum acara pidana, T. Nasrullah, juga memastikan istilah bebas murni dan bebas tidak murni tidak dikenal dalam KUHAP. Pasal 244 KUHAP pun hanya menggunakan kata �bebas'. KUHAP tidak mengenal putusan bebas murni atau tidak murni, ujarnya kepada hukumonline. Lalu darimana jaksa mengartikan vonis bebas Muchdi adalah bukan bebas murni? Subjektivitas jaksa sangat berperan. JPU sering mengartikan sendiri suatu vonis bebas adalah bukan bebas murni tanpa argumentasi yang jelas dan kuat. Hanya sebagai tangga untuk mengajukan kasasi, kata Nasrullah. Menurut Nasrullah, rezim bebas murni dan tidak bebas murni itu berasal dari yurisprudensi dan doktrin. Pada 15 Desember 1983, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan No. 275 K/Pid/1983 (dikenal sebagai kasus Natalegawa). Inilah yurisprudensi pertama yang menerobos larangan kasasi atas vonis bebas. Dalam putusan perkara ini, MA menerima permohonan kasasi jaksa atas vonis bebas terdakwa Natalegawa yang dijatuhkan PN Jakarta Pusat. Pertimbangan MA: demi hukum, keadilan dan kebenaran maka terhadap putusan bebas dapat dimintakan pemeriksaan pada tingkat kasasi. Nanti, MA-lah yang memutuskan apakah suatu putusan bebas murni atau bebas tidak murni. Namun, menurut mantan hakim agung M. Yahya Harahap, penerobosan pasal 244 KUHAP pertama kali datang bukan dari MA, melainkan dari Pemerintah (eksekutif). MA justeru menyambut positif kebijakan yang dikeluarkan Pemerintah kala itu. Dalam bukunya Pembahasan, Permasalahan dan Penerapan KUHAP (edisi kedua), Yahya Harahap menunjuk Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Sebagaimana diketahui, lima hari setelah SK Menteri Kehakiman itu keluar, MA menyambutnya dengan menerima permohonan kasasi JPU dalam perkara Natalegawa. Berdasarkan yurisprudensi itulah muncul istilah bebas murni dan bebas tidak murni. Suatu putusan ditafsirkan bebas murni jika kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa sama sekali tidak didukung alat bukti yang sah. Putusan bebas murni artinya sama sekali tidak terbukti tindak pidananya, jelas Nasrullah. Sebaliknya, dijelaskan Yahya Harahap, suatu putusan dikatakan bebas tidak murni �lazim juga disebut pembebasan terselubung (verkapte vrispraak)�apabila suatu putusan bebas didasarkan pada penafsiran yang keliru terhadap sebutan tindak pidana dalam dakwaan. Bisa juga kalau dalam menjatuhkan putusan pengadilan terbukti melampui wewenangnya. Satu hal yang jelas, penuntut umum sudah mengajukan kasasi. Kini, semua pihak menunggu MA bekerja sesuai dengan wewenangnya. Apakah argumentasi JPU cukup kuat, tentu saja MA yang akan menilai. Tidak Dapat Diterima Agar permohonannya diterima, mau tidak mau, Kejaksaan harus menguraikan secara jelas alasan-alasan permohonan kasasi. Menurut T. Nasrullah, memori kasasi thd putusan bebas tidak murni harus memuat: (i) jangka waktu menyatakan kasasi dan jangka waktu penyerahan memori kasasi; (ii) argumentasi tentang bebas tidak murni; dan alasan-alasan kasasi sebagaimana ditentukan KUHAP Kalau argumentasi jaksa tidak kuat dan salah satu syarat permohonan kasasi tidak lengkap, menurut Nasrullah, permohonan jaksa tidak akan diterima. Ini pula yang mengkhawatirkan anggota tim penyusun revisi KUHAP itu. Penuntut umum biasanya tidak mampu menguraikan alasan kasasi terhadap putusan bebas tidak murni, ujarnya. Bisa jadi kekhawatiran Nasrullah beralasan. Ada beberapa putusan MA yang menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Sebab, berdasarkan penilaian MA, selaku pemohon kasasi JPU tidak dapat membuktikan bahwa putusan PN merupakan pembebasan yang tidak murni. Dengan kata lain, pemohon kasasi tidak dapat mengajukan alasan-alasan yang dijadikan dasar pertimbangan tentang dimana letak sifat tidak murni dari suatu putusan bebas. Pertimbangan seperti itu pernah dipakai MA ketika menolak kasasi jaksa dalam perkara Herizal bin Arsyad Nashyur (putusan no. 1871 K/Pid/2005). Singkatnya, Herizal didakwa melanggar UU Psikotropika. Jaksa menuntutnya enam bulan penjara atas tindak pidana �secara tidak sah tidak melaporkan adanya penyalahgunaan dan atau pemilikan psikotropika. Namun, dalam putusannya, PN Jambi menyatakan terdakwa Herizal tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana baik pada dakwaan pertama, kedua, atau ketiga. Karena itu, majelis hakim membebaskan terdakwa dari segala dakwaan. JPU perkara ini mengajukan kasasi dengan dalih antara lain majelis hakim PN Jambi telah melakukan kekeliruan menerapkan hukum. Tetapi oleh MA, argumentasi JPU ditepis. Majelis hakim agung � Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Moegihardjo-- menilai tidak ada argumentasi pemohon kasasi yang menguatkan bahwa putusan bebas dari PN Jambi adalah putusan bebas tidak murni. Setahun setelah putusan perkara Herizal, MA kembali mengeluarkan sikap serupa. Dalam perkara terdakwa Henry Salim alias Asin (putusan No. 2016 K/Pid/2006) MA menyatakan permohonan kasasi JPU atas vonis bebas tidak dapat diterima. Jaksa mengajukan kasasi setelah PN Palembang membebaskan Henry Salim dari dakwaan melanggar UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika. JPU beralasan hakim salah menerapkan hukum pembuktian. Tetapi, dalam putusan yang diucapkan pada 14 Februari 2007 silam, majelis hakim agung �Iskandar Kamil, Djoko Sarwoko, dan Bahauddin Qaudry�menilai JPU tidak dapat membuktikan putusan bebas judex facti merupakan pembebasan yang tidak murni. Sifat tidak murni dari putusan tidak digambarkan pemohon kasasi secara jelas melalui argumentasi. Selain itu, berdasarkan wewenang pengawasannya, MA juga tidak melihat hakim PN Palembang yang menjatuhkan putusan bebas telah melampaui wewenang mereka. Karena itu, kata majelis, permohonan kasasi harus dinyatakan tidak dapat diterima. Kini, putusan Muchdi, menjadi satu lagi contoh dimana jaksa mengajukan kasasi atas vonis bebas yang dijatuhkan pengadilan tingkat pertama. Para pihak tentu saja harap-harap menunggu dengan perasaan campur aduk: bebas, dihukum, tidak dapat diterima, atau kemungkinan lain. Kuncinya kini ada di tangan MA.

Senin, 21 April 2014

hukum PEMDA

Sistem Pemerintahan Daerah-Otonomi Daerah Indonesia merupakan sebuah negara kesatuan yang menerapkan otonomi kepada daerah atau desentralisasi yang sedikit mirip dengan negara serikat/federal. Namun terdapat perbedaan-perbedaan yang menjadikan keduanya tidak sama. Otonomi daerah bisa diartikan sebagai kewajiban yang dikuasakan kepada daerah otonom untuk mengatur & mengurus sendiri urusan pemerintahan & kepentingan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan juga hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat & pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan yang dimaksud dengan kewajiban yaitu kesatuan masyarakat hukum yg memiliki batas-batas wilayah yg berwenang mengutur dan mengatur pemerintahan serta kepentingan masyarakatnya sesuai prakarsa sendiri berdasarkan keinginan dan suara masyarakat. Pelaksanaan otonomi daerah selain berdasarkan pada aturan hukum, juga sebagai penerapan tuntutan globalisasi yang wajib diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata & bertanggung jawab, utamanya dalam menggali, mengatur, dan memanfaatkan potensi besar yang ada di masing-masing daerah.. Sistem penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia berdasarkan pendekatan kesisteman meliputi sistem pemerintahan pusat atau disebut pemerintah dan sistem pemerintahan daerah. Praktik penyelenggaraan pemerintahan dalam hubungan antarpemerintah , dikenal dengan konsep sentralisasi dan desentralisasi. Konsep sentralisasi menunjukkan karakteristik bahwa semua kewenangan penyelenggaraan pemerintahan berada di pemerintah pusat, sedangkan sistem desentralisasi menunjukkan karakteristik yakni sebagian kewenangan urusan pemerintahan yang menjadi kewajiban pemerintah, diberikan kepada pemerintah daerah. Sistem desentralisasi pemerintahan tidak pernah surut dalam teori maupun praktik pemerintahan daerah dari waktu ke waktu. Desentralisasi menjadi salah satu isu besar yakni to choose between a dispension of power and unification of power. Dispension of power adalah sejalan dengan teori pemisahan kekuasaan dari John Locke. Berdasarkan tujuan desentralisasi, yaitu: 1. untuk mengurangi beban pemerintah pusat dan campur tangan tentang masalah-masalah kecil bidang pemerintahan di tingkat local; 2. meningkatkan dukungan dan partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan local; 3. melatih masyarakat untuk dapat mengatur urusan rumah tangganya sendiri; dan 4. mempercepat bidang pelayanan umum pemerintahan kepada masyarakat. Dasar Hukum mengenai Otonomi Daerah UUD 1945, Pasal 18, 18A, dan 18B UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah UU No. 33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Pemerintah Daerah Tap MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah, Pengaturan, Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan, serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangaka NKRI Tap MPR No. IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan dalam Penyelenggaraan Otonomi Daerah Berikut Ketentuan mengenai Pemerintah Daerah dalam BAB VI PEMERINTAH DAERAH Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 18 (1) Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah-daerah provinsi dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan Kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota itu mempunyai pemerintahan daerah, yang diatur dengan undang-undang.** ) (2) Pemerintah daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.**) (3) Pemerintahan daerah provinsi, daerah kabupaten, dan kota memiliki Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang anggota-anggotanya dipilih melalui pemilihan umum.** ) (4) Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintah daerah provinsi, kabupaten dan kota dipilih secara demokratis.**) (5) Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan Pemerintahan Pusat.**) (6) Pemerintahan daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan-peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan.** ) (7)Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah diatur dalam undang-undang.** ) Pasal 18A (1) Hubungan wewenang antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota, atau provinsi dan kabupaten dan kota, diatur dengan undang-undang dengan memperhatikan kekhususan dan keragaman daerah.**) (2) Hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras berdasarkan undang-undang.** ) Pasal 18B (1) Negara mengakui dan menghormati satuan-satuan pemerintahan daerah yang bersifat khusus atau bersifat istimewa yang diatur dengan undang-undang.**) (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.** ) Sistem Pemerintahan Daerah Sistem pemerintahan daerah begitu dekat hubungannya dengan otonomi daerah yang saat ini telah diterapkan di Indonesia. Jika sebelumnya semua sistem pemerintahan bersifat terpusat atau sentralisasi maka setelah diterapkannya otonomi daerah diharapkan daerah bisa mengatur kehidupan pemerintahan daerah sendiri dengan cara mengoptimalkan potensi daerah yang ada. Meskipun demikian, terdapat beberapa hal tetap diatur oleh pemerintah pusat seperti urusan keuangan negara, agama, hubungan luar negeri, dan lain-lain. Sistem pemerintahan daerah juga sebetulnya merupakan salah satu wujud penyelenggaraan pemerintahan yang efisien dan efektif. Sebab pada umumnya tidak mungkin pemerintah pusat mengurusi semua permasalahan negara yang begitu kompleks. Disisi lain, pemerintahan daerah juga sebagai training ground dan pengembangan demokrasi dalam sebuah kehidupan negara. Sistem pemerintahan daerah disaradi atau tidak sebenarnya ialah persiapan untuk karir politik level yang lebih tinggi yang umumnya berada di pemerintahan pusat. Lalu apa sebarnya pengertian sistem dan sistem pemerintahan? Baca selengkapnya >> pengertian sistem pemerintahan UU no 32 tahun 2004 Kelahiran undang-undang ini dilatarbelakangi dengan adanya perkembangan keadaan, ketatanegaraan, dan tuntutan otonomi daerah. Menurut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 ini, dalam penyelenggaraan otonomi menggunakan format otonomi seluas-luasnya. Artinya, azas ini diberlakukan oleh pemerintah seperti pada era sebelum UU Nomor 5 Tahun 1974. Alasan pertimbangan ini didasarkan suatu asumsi bahwa hal-hal mengenai urusan pemerintahan yang dapat dilaksanakan oleh daerah itu sendiri, sangat tepat diberikan kebijakan otonomi sehingga setiap daerah mampu dan mandiri untuk memberikan pelayanan demi meningkatkan kesejahteraan rakyat di daerah. Kontrol pusat atas daerah dilakukan dengan mekanisme pengawasan yang menunjukkan formulasi cukup ketat dengan mekanisme pengawasan preventif, represif, dan pengawasan umum. Proses pemelihan kepala/wakil kepala daerah menurut UU Nomor 32 Tahun 2004 tidak lagi menjadi wewenang DPRD, melainkan dilaksanakan dengan pemilihan langsung yang diselenggarakan oleh lembaga Komisi Pemilihan Umum daerah (KPUD). PENGERTIAN PEMERINTAHAN DAERAH Pemerintahan daerah sesuai pasal 1 huruf d UU no. 22 tahun 1999 adalah penyelenggara pemerintahan daerah otonom oleh pemerintah daerah dan juga DPRD menurut azaz desentralisasi. Menurut UU no. 32 tahun 2004 pada pasal 1ayat 2, pemerintahan daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh pemerintahan daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi yang seluas-luasnya dalam sistem dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. ayat 3 Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. ayat 4.Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Penyelenggaraan Pemerintahan Penyelenggara pemerintahan daerah adalah pemerintah daerah dan DPRD. Penyelenggaraan pemerintahan berpedoman pada Asas Umum Penyelenggaraan Negara yang terdiri atas: asas kepastian hukum, asas kepentingan umum, asas tertib penyelenggara negara, asas proporsionalitas, asas keterbukaan, asas akuntabilitas, asas efektivitas, asas profesionalitas, dan asas efisiensi. Daerah Otonom Daerah otonom, selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia OTONOMI DAERAH Pengertian Otonomi Daerah - sesuai Undang-Undang No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 5, pengertian otonomi derah adalah hak ,wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan menurut Suparmoko (2002:61) mendefinisikan otonomi daerah sebagai kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan juga mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Sesuai dengan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, bahwa pemberian kewenangan otonomi daerah dan kabupaten / kota didasarkan kepada desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggung jawab. a. Kewenangan Otonomi Luas Kewenangan otonomi luas berarti keleluasaan daerah untuk melaksanakan pemerintahan yang meliputi semua aspek pemerintahan kecuali bidang pertahanan keamanan, politik luar negeri, peradilan, agama, moneter & fiscal serta kewenangan pada aspek lainnya ditetapkan dengan peraturan perundang-undangan. Disisi lain keleluasaan otonomi meliputi juga kewenangan yang utuh & bulat dalam penyelenggaraan mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian hingga evaluasi. b. Otonomi Nyata Otonomi nyata berarti keleluasaan daerah untuk menjalankan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada & diperlukan serta tumbuh hidup & berkembang di daerah. c. Otonomi Yang Bertanggung Jawab Otonomi yang bertanggung jawab berarti berwujud pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak serta kewenangan kepada daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi daerah berupa , pengembangan kehidupan demokrasi, peningkatan kesejahteraan masyarakat yang semakin tinggi, keadilan dan pemerataan serta pemeliharaan hubungan yang sehat antara pusat & daerah serta antar daerah dalam usaha menjaga Keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sesuai dengan UU No. 32 tahun 2004 pasal 1 ayat 7, 8, 9 tentang Pemerintah Daerah, ada 3 dasar sistem hubungan antara pusat & daerah yaitu : Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur & mengurus urusan pemerintah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Dekonsentrasi merupakan pelimpahan wewenang pemerintah kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertikal di wilayah tertentu Tugas perbantuan yaitu penugasan dari pemerintah kepada daerah & atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan & mempertanggung jawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan. Hakekat, Tujuan dan Prinsip Otonomi Daerah a. Hakekat Otonomi Daerah Pelaksanaan otonomi daerah pada hakekatnya merupakan upaya dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan cara melaksanakan pembangunan sesuai dengan kehendak & kepentingan masyarakat. Sehubungan dengan hakekat otonomi daerah tersebut yang berkaitan dengan pelimpahan wewenang pengambilan keputusan kebijakan, pengelolaan dana publik & pengaturan kegiatan dalam penyelenggaraan pemerintah & pelayanan masyarakat maka peranan data keuangan daerah sangat diperlukan untuk mengidentifikasi sumber-sumber pembiayaan daerah dan juga jenis & besar belanja yang harus dikeluarkan agar perencanaan keuangan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Data keuangan daerah yang menunjukan gambaran statistik perkembangan anggaran & realisasi, baik penerimaan maupun pengeluaran & analisa terhadapnya merupakan informasi yang penting terutama untuk membuat kebijakan dalam pengelolaan keuangan daerah untuk meliahat kemampuan/ kemandirian daerah (Yuliati, 2001:22) b. Tujuan Otonomi Daerah Tujuan utama dilaksanakannya kebijakan otonomi daerah adalah membebaskan pemerintah pusat dari urusan yang tidak seharusnya menjadi pikiran pemerintah pusat. Dengan demikian pusat berkesempatan mempelajari, memahami, merespon berbagai kecenderungan global dan mengambil manfaat daripadanya. Pada saat yang sama pemerintah pusat diharapkan lebih mampu berkonsentrasi pada perumusan kebijakan makro (luas atau yang bersifat umum dan mendasar) nasional yang bersifat strategis. Di lain pihak, dengan desentralisasi daerah akan mengalami proses pemberdayaan yang optimal. Kemampuan prakarsa dan kreativitas pemerintah daerah akan terpacu, sehingga kemampuannya dalam mengatasi berbagai masalah yang terjadi di daerah akan semakin kuat. Menurut Mardiasmo (Otonomi dan Manajemen Keuangan Daerah) adalah: Untuk meningkatkan pelayanan publik (public service) dam memajukan perekonomian daerah. Pada dasarnya terdapat tiga misi utama pelaksanaan otonomi daerah & desentralisasi fiskal, yaitu: Meningkatkan kualitas & kuantitas pelayanan publik & kesejahteraan masyarakat. Memberdayakan & menciptakan ruang bagi masyarakat (publik) untuk berpartisipasi dalam proses pembangunan. Menciptakan efisiensi & efektivitas pengelolaan sumber daya daerah. Kemudian tujuan otonomi daerah menurut penjelasan Undang-undang No 32 tahun 2004 pada intinya hampir sama, yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan & hasil-hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa & peran serta aktif masyarakat secara nyata, dinamis, & bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan & kesatuan bangsa, mengurangi beban pemerintah pusat & campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. c. Prinsip Otonomi Daerah Berdasarkan penjelasan Undang-Undang No. 32 tahun 2004, prinsip penyelenggaraan otonomi daerah adalah sebagai berikut : Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan aspek keadilan, demokrasi, pemerataan serta potensi & keaneka ragaman daerah. Pelaksanaan otonomi daerah dilandasi pada otonomi luas, nyata & bertanggung jawab. Pelaksanaan otonomi daerah yang luas & utuh diletakkan pada daerah & daerah kota, sedangkan otonomi provinsi merupakan otonomi yang terbatas. Pelaksanaan otonomi harus selaras konstitusi negara sehingga tetap terjamin hubungan yang serasi antara pusat & daerah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah kabupaten & derah kota tidak lagi wilayah administrasi. Begitu juga di kawasan-kawasan khusus yang dibina oleh pemerintah. Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan & fungsi badan legislatif daerah baik sebagai fungsi pengawasan, fungsi legislatif, mempunyai fungsi anggaran atas penyelenggaraan otonomi daerah Pelaksanaan dekonsentrasi diletakkan pada daerah propinsi dalam kedudukan sebagai wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan pemerintah tertentu dilimpahkan kepada gubernur sebagai wakil pemerintah. Pelaksanaan asas tugas pembantuan dimungkinkan tidak hanya di pemerintah daerah dan daerah kepada desa yang disertai pembiayaan, sarana dan pra sarana serta sumber daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung jawabkan kepada yang menugaskan. Hak dan Kewajiban Daerah Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai hak: a. mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; b. memilih pimpinan daerah; c. mengelola aparatur daerah; d. mengelola kekayaan daerah; e. memungut pajak daerah dan retribusi daerah; f. mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; g. mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan h. mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam Peraturan perundangundangan. Dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai kewajiban: a. melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan kerukunan nasional, serta keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia; b. meningkatkan kualitas kehidupan, masyarakat; c. mengembangkan kehidupan demokrasi; d. mewujudkan keadilan dan pemerataan; e. meningkatkan pelayanan dasar pendidikan; f. menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan; g. menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak; h. mengembangkan sistem jaminan sosial; i. menyusun perencanaan dan tata ruang daerah; j. mengembangkan sumber daya produktif di daerah; k. melestarikan lingkungan hidup; l. mengelola administrasi kependudukan; m. melestarikan nilai sosial budaya; n. membentuk dan menerapkan peraturan perundang-undangan sesuai dengan kewenangannya; dan o. kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Pengawasan terhadap Pelaksanaan Otonomi Daerah Pengawasan yang dianut menurut undang-undang no 32 tahun 2004 meliputi dua bentuk pengawasan yakni pengawasan atas pelaksanaan urusan pemerintah di daerah dan pengawasan terhadap peraturan daerah dan peraturan kepala daerah. Pengawasan ini dilaksanakan oleh aparat pengawas intern pemerintah. Hasil pembinaan dan pengawasan tersebut digunakan sebagai bahan pembinaan selanjutnya oleh pemerintah dan dapat digunakan sebagai bahan pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau gubernurselaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah. Dalam rangka pembinaan oleh pemerintah, menteri dan pimpinan lembega pemerintah non-departemen melakukan pembinaan sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing yang dikoordinasikan oleh Mmenteri Dalam Negeri untuk pembinaan dan pengawasan provinsi, serta oleh gubernur untuk pembinaan dan pengawasan kabupaten / kota. Dalam hal pengawasan terhadap rancangan peraturan daerah dan perataturan kepala daerah, pemerintah melakukan dua cara sebagai berikut. 1. Pengawasan terhadap rancangan perda yang mengatur pajak daerah, retribusi daerah, APBD, dan RUTR, sebelum disyahkan oleh kepala daerah terlebih dahulu dievaluasi oleh Menteri Dalam Negeri untuk Raperda Provinsi, dan oleh gubernur terhadap Raperda Kabupaten/Kota. Mekanisme ini dilakukan agar pengaturan tentang hal-hal tersebut dapat mencapai daya guna dan hasil guna yang optimal. 2. Pengawasan terhadap semua peraturan daerah di luar yang termuat di atas, peraturan daerah wajib disampaikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk provinsi dan gubernur untuk kabuapten/kota, untuk memperoleh klarifikasi terhadap peraturan daerah yang bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau peraturan lain yang lebih tinggi dan sebab itu dapat dibatalkan sesuai mekanisme yang berlaku. Dalam rangka mengoptimalkan fungsi pembinaan dan pengawasan, pemerintah dapat menerapkan sanksi kepada penyelenggara pemerintahan daerah apabila ditemukan adanya penyimpangan dan pelanggaran. Sanksi yang dimaksud antara lain berupa penataan kembali suatu daerah otonom, pembatalan pengangkatan pejabat, penangguhan dan pembatalan berlakunya suatu kebijakan yang ditetapkan daerah, sanksi pidana yang diproses sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Sabtu, 19 April 2014

hukum waris berdasarkan BW BAB I WARIS UNDANG – UNDANG I.1 PENGERTIAN HUKUM WARIS Hukum waris ( erfrecht ) yaitu seperangkat norma atau aturan yang mengatur mengenai berpindahnya atau beralihnya hak dan kewajiban ( harta kekayaan ) dari orang yang meninggal dunia ( pewaris ) kepada orang yang masih hidup ( ahli waris) yang berhak menerimanya. Atau dengan kata lain, hukum waris yaitu peraturan yang mengatur perpindahan harta kekayaan orang yang meninggal dunia kepada satu atau beberapa orang lain. Menurut Mr. A. Pitlo, hukum waris yaitu suatu rangkaian ketentuan – ketentuan, di mana, berhubung dengan meninggalnya seorang, akibat- akibatnya di dalam bidang kebendaan, diatur, yaitu : akibat dari beralihnya harta peninggalan dari seorang yang meninggal, kepada ahli waris, baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri, maupun dengan pihak ketiga. I.2 UNSUR – UNSUR PEWARISAN Di dalam membicarakan hukum waris maka ada 3 hal yang perlu mendapat perhatian, di mana ketiga hal ini merupakan unsur – unsur pewarisan : 1. Orang yang meninggal dunia / Pewaria / Erflater Pewaris ialah orang yang meninggal dunia dengan meningalkan hak dan kewajiban kepada orang lain yang berhak menerimanya. Menurut pasal 830 BW, pewarisan hanya berlangsung karena kematian. Menurut ketentuan pasal 874 BW, segala harta peninggalan seorang yang meninggal dunia adalah kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang – undang sekedar terhadap itu dengan surat wasiat tidak telah diambil setelah ketetapan yang sah. Dengan demikian, menurut BW ada dua macam waris : Hukum waris yang disebut pertama, dinamakan Hukum Waris ab intestato (tanpa wasiat). Hukum waris yang kedua disebut Hukum Waris Wasiat atau testamentair erfrecht. 2. Ahli waris yang berhak menerima harta kekayaan itu / Erfgenaam Ahli waris yaitu orang yang masih hidup yang oleh hukum diberi hak untuk menerima hak dan kewajiban yang ditinggal oleh pewaris. Lalu, bagaiman dengan bayi yang ada dalam kandungan ?. Menurut pasal 2 BW, anak yang ada dalam kandungan dianggap sebagai telah dilahirkan bilamanakeperluan si anak menghendaki. Jadi, dengan demikian seorang anak yang ada dalam kandungan, walaupun belum lahir dapat mewarisi karena dalam pasal ini hukum membuat fiksi seakan – akan anak sudah dilahirkan. Ahli waris terdiri dari :  Ahli waris menurut undang – undang ( abintestato ) Ahli waris ini didasarkan atas hubungan darah dengan si pewaris atau para keluarga sedarah. Ahli waris ini terdiri atas 4 golongan. Golongan I, terdiri dari anak – anak, suami ( duda ) dan istri ( janda ) si pewaris; Golongan II, terdiri dari bapak, ibu ( orang tua ), saudara – saudara si pewris; Golongan III, terdiri dari keluarga sedarah bapak atau ibu lurus ke atas ( seperti, kakek, nenek baik garis atau pancer bapak atau ibu ) si pewaris; Golongan IV, terdiri dari sanak keluarga dari pancer samping ( seperti, paman , bibi ).  Ahli waris menurut wasiat ( testamentair erfrecht ) Ahli waris ini didasarkan atas wasiat yaitu dalam pasal 874 BW, setiap orang yang diberi wasiat secara sah oleh pewaris wasiat, terdiri atas, testamentair erfgenaam yaitu ahli waris yang mendapat wasiat yang berisi suatu erfstelling ( penunjukkan satu ataubeberapa ahli waris untuk mendapat seluruh atau sebagian harta peninggalan ); legataris yaitu ahli waris karena mendapat wasiat yang isinya menunjuk seseorang untuk mendapat berapa hak atas satu atau beberapa macam harta waris, hak atas seluruh dari satu macam benda tertentu, hak untuk memungut hasil dari seluruh atau sebagian dari harta waris. Jadi, dengan demikian ada tiga dasar untuk menjadi ahli waris, yaitu, ahli waris atas dasar hubungan darah dengan si pewaris, ahli waris hubungan perkawianan dengan si pewaris, ahli waris atas dasar wasiat. 3. Harta Waris Hal – hal yang dapat diwarisi dari si pewaris, pada prinsipnya yang dapat diwarisi hanyalah hak – hak dan kewajiban dalam lapangan harta kekayaan. Hak dan kewajiban tersebut berupa, Aktiva ( sejumlah benda yang nyata ada dan atau berupa tagihan atau piutang kepada pihak ketiga, selain itu juga dapat berupa hak imateriil, seperti, hak cipta ); Passiva ( sejumlah hutang pewaris yang harus dilunasi pada pihak ketiga maupun kewajiban lainnya ). Dengan demikian, hak dan kewajiban yang timbul dari hukum keluarga tidak dapat diwariskan. I.3 HAK DAN KEWAJIBAN PEWARIS 1. Hak Pewaris Pewaris sebelum meninggal dunia berhak menyatakan kehendaknya dalam testament atau wasiat yang isinya dapat berupa, erfstelling / wasiat pengangkatan ahli waris ( suatu penunjukkan satu atau beberapa orang menjadi ahli waris untuk mendapatkan seluruh atau sebagian harta peninggalan ( menurut pasal 954 BW ), wasiat pengangkatan ahli wari ini terjadi apabila pewaris tidak mempunyai keturunanatau ahli waris ( menurut pasal 917 BW )); legaat / hibah wasiat ( pemberian hak kepada seseorang atas dasar wasiat yang khusus berupa hak atas satu atau beberapa benda tertentu, hak atas seluruh benda bergerak tertentu, hak pakai atau memungut hasil dari seluruh atau sebagian harta warisan ( menurut pasal 957 BW )). 2. Kewajiban Pewaris Pewaris wajib mengindahkan atau memperhatikan legitime portie, yaitu suatu bagian tertentu dari harta peningalan yang tidak dapat dihapuskan atau dikurangi dengan wasiat atau pemberian lainnya oleh orang yang meninggalkan warisan ( menurut pasal 913 BW ). Jadi, pada dasarnya pewaris tidak dapat mewasiatkan seluruh hartanya, karena pewaris wajib memperhatikan legitieme portie, akan tetapi apabila pewaris tidak mempunyai keturunan , maka warisan dapat diberikan seluruhnya pada penerima wasiat. I.4 HAK DAN KEWAJIBAN AHLI WARIS 1. Hak Ahli Waris Setelah terbukanya warisan ahli waris mempunyai hak atau diberi hak untuk menentukan sikapnya, antara lain, menerima warisan secara penuh, menerima dengan hak untuk mengadakan pendaftaran harta peninggalan atau menerima dengan bersyarat, dan hak untuk menolak warisan. 2. Kewajiban Ahli Waris Adapun kewajiban dari seorang ahli waris, antara lain, memelihara keutuhan harta peninggalan sebelum harta peninggalan itu dibagi, mencari cara pembagian sesuai ketentuan, melunasi hutang – hutang pewaris jika pewaris meninggalkan hutang, dan melaksanakan wasiat jika pewarismeninggalkan wasiat. I.5 PEMBAGIAN WARIS MENURUT BW 1. Golongan I, Merupakan ahli waris dalam garis lurus ke bawah dari pewaris, yaitu anak, suami / duda, istri / janda dari si pewaris. Ahli waris golongan pertama mendapatkan hak mewaris menyampingkan ahli waris golongan kedu, maksudnya, sepanjang ahli waris golongan pertama masih ada, maka, ahli waris golongan kedua tidak bisa tampil. pasal 852 : Seorang anak biarpun dari perkawinan yang berlain – lainan atau waktu kelahiran , laki atau perempuan, mendapat bagian yang sama ( mewaris kepala demi kepala ). Anak adopsi memiliki kedudukan yang sama seperti anak yang lahir di dalam perkawinannya sendiri . Berbicara mengenai anak, maka, kita dapat menggolongkannya sebagai berikut :  Anak sah, yaitu anak yang dilahirkan atau ditumbuhkan sepanjang perkawinan dengan tidak mempermasalahkan kapan anak itu dibangkitkan oleh kedua suami istri atau orang tuanya. Anak sah mewaris secara bersama – sama dengan tidak mempermasalahkan apakah ia lahir lebih dahulu atau kemudian atau apakah ia laki – laki atau perempuan.  Anak luar perkawinan, yaitu anak yang telah dilahirkan sebelum kedua suami istri itu menikah atau anak yang diperoleh salah seorang dari suami atau istri dengan orang lain sebelum mereka menikah. Anak luar perkawinan ini terbagi atas :  Anak yang disahkan, yaitu anak yang dibuahkan atau dibenihkan di luar perkawinan, dengan kemudian menikahnya bapak dan ibunya akan menjadi sah, dengan pengakuan menurut undang – undang oleh kedua orang tuanya itu sebelum pernikahan atau atau dengan pengakuan dalam akte perkawinannya sendiri.  Anak yang diakui, yaitu dengan pengakuan terhadap seorang anak di luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya tau dengan kata lain, yaitu anak yang diakui baik ibunya saja atau bapaknya saja atau kedua – duanya akan memperoleh hubungan kekeluargaan dengan bapak atau ibu yang mengakuinya. Pengakuan terhadap anak luar kawin dapat dilakukan dalam akte kelahiran anak atau pada saat perkawinan berlangsung atau dengan akta autentik atau dengan akta yang dibuat oleh catatan sipil. Menurut pasal 693, hak waris anak yang diakui; 1/3 bagian sekiranya ia sebagai anak sah, jika ia mewaris bersama – sama dengan ahli waris golongan pertama, ½ dari harta waris jika ia mewaris bersama – sama dengan golongan kedua, ¾ dari harta waris jika ia mewaris bersama dengan sanak saudara dalam yang lebih jauh atau jika mewaris dengan ahli waris golongan ketiga dan keempat, mendapat seluruh harta waris jika si pewaris tidak meninggalkan ahli wari yang sah. Jika anak diakui ini meninggal terlebih dahulu, maka anak dan keturunannya yang sah berhak menuntut bagian yang diberikan pada merka menurut pasal 863, 865.  Anak yang tidak dapat diakui, terdiri atas; anak zina ( anak yang lahir dari orang laki – laki dan perempuan, sedangkan salah satu dari mereka itu atau kedua – duanya berada dalam ikatan perkawinan dengan orang lain ), anak sumbang ( anak yang lahir dari orang lki – laki dan perempuan, sedangkan diantara mereka terdapat larangan kawin atau tidak boleh kawin karena masih ada hubungan kekerabatan yang dekat. Untuk kedua anak ini tidak mendapatkan hak waris, mereka hanya mendapatkan nafkah seperlunya. 852 a. : Bagian seorang isteri ( suami ), kalau ada anak dari perkawinannya dengan yang meninggal dunia, adalah sama dengan bagiannya seorang anak. Jika perkawinan itu bukan perkawinan yang pertama, dan dari perkawinan yang dahulu ada juga anak – anak, maka bagian dari janda ( duda ) itu tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak yang meninggal dunia. Bagaimanapun juga seorang janda ( duda ) tidak boleh mendapat lebih dari ½ dari harta warisan. Di atas disebut bahwa jika ada anak dari perkawinan yang dahulu, maka bagian dari seorang janda ( duda ) tidak boleh lebih dari bagian terkecil dari anak – anak peninggal warisan. Lebih dahulu telah ada ketentuan bahwa bagian dari seorang anak adalah sama, meskipun dari lain perkawinan. Untuk dapat mengerti arti dari kata ” terkecil ” itu, perlu diingat bahwa pasal ini adalah pasal yang disusulkan kemudian yaitu dengan Stbld. 1935 No. 486, dengan maksud supaya memperbaiki kedudukan seorang janda ( duda ) yang dengan adanya pasal itu bagiannya dipersamakan dengan seorang anak. 2. Golongan II Merupakan, ahli waris dalam garis lurus ke atas dari pewaris, yaitu, bapak, ibu dan saudara – saudara si pewaris. Ahli waris ini baru tampil mewaris jika ahli waris golongan pertama tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan ketiga dan keempat.  Dalam hal tidak ada saudara tiri : 854 : Jika golongan I tidak ada, maka yang berhak mewaris ialah : bapak, ibu, dan saudara. Ayah dan ibu dapat : 1/3 bagian, kalau hanya ada 1 saudara; ¼ bagian, kalau ada lebihh dari saudara. Bagian dari saudara adalah apa yang terdapat setelah dikurangi dengan bagian dari orang tua. 855 : Jika yang masih hidup hanya seorang bapak atau seorang ibu, maka bagiannya ialah : ½ kalau ada 1 saudara; 1/3 kalau ada 2 saudara; ¼ kalau ada lebih dari 2 orang saudara. Sisa dari warisan, menjadi bagiannya saudara ( saudara – saudara ) 856 : Kalau bapak dan ibu telah tidak ada, maka deluruh warisan menjadi bagian saudara – saudara. 857 : Pembagian antara saudara – saudara adalah sama, kalau mereka itu mempunyai bapak dan ibu yang sama.  Dalam hal ada saudara tiri : Sebelum harta waris dibagikan kepada saudara – saudaranya, maka harus dikeluarkan lebih dulu untuk orang tua si pewaris, jika masih hidup. Kemudian sisanya baru dibagi menjadi dua bagian yang sama. Bagian yang ke satu adalah bagian bagi garis bapak dan bagian yang kedua adalah sebagai bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang mempunyai bapak dan ibu yang sama mendapat bagian dari bagian bagi gariss bapak dan bagian bagi garis ibu. Saudara – saudara yang hanya sebapak atau seibu dapat bagian dari bagian bagi garis bapak atau bagi garis ibu saja. 3. Golongan III Merupakan, keluarga sedarah si bapak atau ibu pewaris, yaitu kakek, nenek baik pancer bapak atau ibu dari si pewaris. Dalam hal ini, ahli waris golongan ketiga baru mempunyai hak mewaris, jika ahli waris golongan pertama dan kedua tidak ada sama sekali dengan menyampingkan ahli waris golongan keempat. 853 : 858 ayat 1. Jika waris golongan 1 dan garis golongan 2 tidak ada, maka warisan dibelah menjadi dua bagian yang sama. Yang satu bagian diperuntukkan bagi keluarga sedarah dalam garis bapak lurus ke atas; yang lain bagian bagi keluarga sedarah dalam garis ibu lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas. Waris yang terdekat derajatnya dalam garis lurus ke atas mendapat setengah warisan yang jatuh pada garisnya ( pancernya ). Kalau derajatnya sama, maka waris itu pada tiap garis pancer mendapat bagian yang sama ( kepala demi kepala ). Kalau di dalam satu garis ( pancer ) ada keluarga yang terdekat derajatnya, maka orang itu menyampingkan keluarga dengan derajat yang lebih jauh. Pasal ini menguraikan keadaan jika anak ( dan keturunannya ), isteri orang tua, dan saudara tidak ada. Maka di dalam hal ini warisan jatuh pada kakek dan nenek. Karena tiap orang itu mempunyai bapak dan ibu, dan bapak dan ibu itu mempunyai bapak dan ibu juga, maka tiap orang mempunyai 2 kakek dan 2 nenek. 1 kakek dan 1 nenek dari pancer bapak dan 1 kakek dan 1 nenek dari pancer ibu. Dengan telah meninggalnya bapak dan ibu maka adalah wajar jika warisan itu jatuh pada orang – orang yang menurunkan bapak dan ibu. Di dalam hal ini maka warisan dibelah menjadi dua. Satu bagian diberikan kepada kakek dan nenek yang menurunkan bapak dan bagian lain kepada kakek dan nenek yang menurunkan ibu. Jika kakek dan nenek tidak ada maka warisan jatuh kepada orang tuanya kakek dan nenek. Jika yang tidak ada itu hanya kakek atau nenek maka bagian jatuh pada garisnya, menjadi bagian yang masih hidup. 4. Golongan IV Merupakan, sanak keluarga dalamgaris ke samping dari si pewaris, yaitu paman, bibi. 858 ayat 2. Kalau waris golongan 3 tidak ada maka bagian yang jatuh pada tiap garis sebagai tersebut dalam pasal 853 dan pasal 858 ayat 2, warisan jatuh pada seorang waris yang terdekatpada tiap garis. Kalau ada beberapa orang yang derajatnya sama maka warisan ini dibagi – bagi berdasarkan bagian yang sama. 861. Di dalam garis menyimpang keluarga yang pertalian kekeluargaannya berada dalam suatu derajat yang lebih tinggi dari derajat ke – 6 tidak mewaris. Kalau hal ini terjadi pada salah satu garis, maka bagian yang jatuh pada garis itu,menjadi haknya keluarga yang ada di dalam garis yang lain, kalau orang ini mempunyai hak kekeluargaan dalam derajat yang tidk melebihi derajat ke – 6. 873. Kalau semua orang yang berhak mewaris tidak ada lagi maka seluruh warisan dapat dituntut oleh anak di luar kawin yang diakui. 832. Kalau semua waris seperti disebut di atas tidak ada lagi, maka seluruh warisan jatuh pada Negara. 5. Ahli Waris berdasarkan Penggantian Tempat / Ahli Waris Pengganti (Plaatsvervulling / representatie) Adapun syarat – syarat untuk menjadi ahli waris pengganti adalah sebagai berikut :  Orang yang digantikan tempatnya itu harus telah meninggal dunia terlebih dahulu dari si pewaris.  Orang yang sudah meninggal dunia itu meninggalkan keturunan .  Orang yang digantikan tempat itu tidak menolak warisan. BAB II WARIS WASIAT ( TESTAMENT ) Dalam pemberian wasiat, tidak serta merta perintah pewaris dalam testament dapat dilaksanakan. Banyak faktor yang menyebabkan hal tersebut. Apabila ternyata tidak ada satupun faktor penghalang, berarti testament tersebut dapat dipenuhi isinya. Bagian dari harta peninggalan pewaris yang dapat digunakan untuk memenuhi isi testamen hanya terbatas pada bagian yang tersedia saja. Dengan demikian, persentasi harta kekayaan peninggalan pewaris untuk pemenuhan testamen tidak tergantung pada bunyi testamen, tetapi sangat tergantung pada jumlah harta peninggalan pewaris yang oleh hukum atau undang – undang tersedia untuk pewaris. II.1 PENGERTIAN WASIAT Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pasal 875, surat wasiat atau testament adalah suatu akta yang berisi pernyataan sesorang tentang apa yang akan terjadi setelah ia meninggal, dan yang olehnya dapat ditarikkembali. II.2 SYARAT – SYARAT WASIAT 1. Syarat – Syarat Pewasiat Pasal 895 : Pembuat testament harus mempunyai budi – akalnya, artinya tidak boleh membuat testament ialah orang sakit ingatan dan orang yang sakitnya begitu berat, sehingga ia tidak dapat berpikir secara teratur. Pasal 897 : Orang yang belum dewasa dan yang belum berusia 18 tahun tidak dapat membuat testament. 2. Syarat – Syarat Isi Wasiat Pasal 888 : Jika testament memuat syarat – syarat yang tidak dapat dimengerti atau tak mungkin dapat dilaksanakan atau bertentangan dengan kesusilaan, maka hal yang demikian itu harus dianggap tak tertulis. Pasal 890 : Jika di dalam testament disebut sebab yang palsu, dan isi dari testament itu menunjukkan bahwa pewaris tidak akan membuat ketentuan itu jika ia tahu akan kepalsuannya maka testament tidaklah syah. Pasal 893 : Suatu testament adalah batal, jika dibuat karena paksa, tipu atau muslihat. Selain larangan – larangan tersebut di atas yang bersifat umum di dalam hukum waris terdapat banyak sekali larangan – larangan yang tidak boleh dimuat dalam testament. Di antara larangan itu, yang paling penting ialah larangan membuat suatu ketentuan sehingga legitieme portie ( bagian mutlak para ahli waris ) menjadi kurang dari semestinya. II.3 JENIS – JENIS WASIAT 1. Jenis Wasiat menurut Isinya Menurut isinya, maka ada 2 jenis wasiat :  Wasiat yang berisi ” erfstelling ” atau wasiat pengangkatan waris. Seperti disebut dalam pasal 954 wasiat pengangkatan waris, adalah wasiat dengan mana orang yang mewasiatkan, memberikan kepada seorang atau lebih dari seorang, seluruh atau sebagian ( setengah, sepertiga ) dari harta kekayaannya, kalau ia meninggal dunia. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal itu adalah waris di bawah titel umum.  Wasiat yang berisi hibah ( hibah wasiat ) atau legaat. Pasal 957 memberi keterangan seperti berikut : ” Hibah wasiat adalah suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament, dengan mana yang mewasiatkan memberikan kepada seorang atau beberapa orang; beberapa barang tertentu, barang – barang dari satu jenis tertentu, hak pakai hasil dari seluruh atau sebagian dari harta peninggalannya. Orang – orang yang mendapat harta kekayaan menurut pasal ini disebut waris di bawah titel khusus. 2. Jenis Wasiat menurut Bentuknya Selain pembagian menurut isi, masih ada lagi beberapa jenis wasiat dibagi menurut bentuknya. Menurut pasal 931 ada 3 rupa wasiat menurut bentuk :  Wasiat ologafis, atau wasiat yang ditulis sendiri Wasiat ini harus ditulis dengan tangan orang yang akan meninggalkan warisan itu sendiri, harus diserahkan sendiri kepada seorang notaris untuk disimpan, penyerahan harus dihadiri oleh dua orang saksi.  Wasiat umum ( openbaar testament ) Dibuat oleh seorang notaris, orang yang akan meninggalkan warisan menghadap para notaris dan menyatakan kehendaknya. Notaris ini membuat suatu akta dengan dihadiri oleh 2 orang saksi.  Wasiat rahasia atau wasiat tertutup Dibuat sendiri oleh orang yang akan meninggalkan warisan, tetapi tidak diharuskan menuliskan dengan tangannya sendiri, testament ini harus selalu tertutup dan disegel. Penyerahannya kepada notaris harus disaksikan 4 orang saksi. II.4 PENCABUTAN DAN WASIAT Di antara pencabutan dan gugurnya wasiat ada perbedaan; pencabutan ialah di dalam hal ini ada suatu tindakan dari pewaris yang meniadakan suatu testament, sedangkan, gugur ialah tidak ada tindakan dari pewaris tapi wasiat tidak dapat dilaksanakan, karena ada hal – hal di luar kemauan pewaris. 1. Tentang Pencabutan Suatu Wasiat Mengenai pencabutan wasiat secara tegas ada ketentuan – ketentuan seperti berikut : 992 : Suatu surat wasiat dapat dicabut dengan ; surat wasiat baru dan akta notaris khusus. Arti kata ” khusus ” di dalam hal ini ialah bahwa isi dari akta itu harus hanya penarikan kembali itu saja. 2. Tentang Gugurnya Suatu Wasiat 997 : Jika suatu wasiat memuat suatu ketetapan yang bergantung kepada suatu peristiwa yang tak tentu : maka jika si waris atau legataris meninggal dunia, sebelum peristiwa itu terjadi, wasiat itu gugur. 998 : Jika yang ditangguhkan itu hanya pelaksanaannya saja, maka wasiat itu tetap berlaku, kecuali ahli waris yang menerima keuntungan dari wasiat itu. BAB III HUKUM HARTA PERKAWINAN III.1 PERISTILAHAN DAN BATASAN Menurut ketentuan dalam pasal 100 dan pasal 121 dijelaskan mengenai peristilahan dan batasan harta perkawinan ini, ialah, harta kekayaan suami dan isteri, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, yang sekarang maupun yang kemudian, termasuk juga yang diperoleh dengan cuma – cuma ( warisan, hibah ); segala beban suami dan isteri yang berupa hutang suami dan isteri, baik sebelum maupun sepanjang perkawinan. III.2 MACAM – MACAM HARTA PERKAWINAN 1. Hukum Harta Perkawinan menurut BW 119 : Mulai saat perkawinan dilangsungkan, demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan isteri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Persatuan itu sepanjang perkawinan tak boleh ditiadakan atau diubah dengan sesuatu persetujuan antara suami dan isteri. 120 : Sekadar mengenai laba – labanya, persatuan itu meliputi harta kekayaan suami dan isteri, bergerak dan tak bergerak, baik yang sekarang, maupun yang kemudian, maupun pula, yang mereka peroleh dengan Cuma – Cuma, kecuali dalam hal terakhir ini si yang mewariskan atau yang menghibahkan dengan tegas menentukan sebaliknya. 121 : Sekedar mengenai beban – bebannya, persatuan itu meliputi segala utang suami – isteri masing – masing yang terjadi, baik sebelum, maupun sepanjang perkawinan. 122 :Segala hasil dan pendapatan, sepertipun segala utang dan rugi sepanjang perkawinan harus diperhitungkan atas mujur malang persatuan. 123 : Segala utang kematian, terjadi setelah matinya, harus dipikul oleh ahli waris dari si yang meninggal dunia. 2. Hukum Harta Pekawinan menurut UU No. I / 1974 Pasal 35 ( 1 ) : Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Pasal 35 ( 2 ) : Harta bawaan dari masing – masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing – masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing – masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Pasal 36 ( 1 ) : Mengenai harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak. Pasal 36 ( 2 ) : Mengenai harta bawaan masing – masing, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya. Pasal 37 Bila perkawianan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing – masing. DAFTAR PUSTAKA Afandi, Ali. 2004. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian menurut Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Rineka Cipta : Jakarta. Amanat, Anisitus. 2001. Membagi Warisan Berdasarkan Pasal – Pasal Hukum Perdata Bw ( Edisi Revisi ). Semarang. Subekti. 1987. Pokok – Pokok Hukum Perdata. PT. Intermasa : Jakarta. Subekti, dan R. Tjitrosudibio. 1992. Kitab Undang – Undang Hukum Perdata dengan tambahan Undang – Undang Pokok Agraria dan Undang – Undang Perkawinan. : Jakarta.

Jumat, 18 April 2014

hari ini hari jumat agung dimana Yesus Kritus mati demi menebus dosa umat_Nya ..moment yang tepat untuk merefleksikan diri atas setiap dosa-dosa yang kita buat..ya Tuhan maafkanlah kami semuua umat manusia ini.. disaat ini juga banyak persoalan dalam hidup ku, harus berserah kepada Tuhan karena dia ada menopang ku.. adek sakit,aku sakit,kasihanlah bapakku yang berpikir buat kami,ditambah runyamnya pikiranku apalagi hari senin UTS.. siapa yang dapat memotivasi diri selain diriku sendiri..pacar ga ada tapi orang yang kusayang menjauh.. nella leonarita aku sayang amamu walaupun aku ga tau apa yang telah kau berikan amaku tapi sayangku tulus amamu,kapan kita bisa perbaiki semua ini..aku ga tau apakah aku hanya tempat pelarianmu dari seseorang yang sangat berkesan dihatimu,kamu dah begituu sakit amanya tapi kamu belum bisa lupakan dia,yang ada dicatatanmu semua hanya tentang dia.. kita dulu jarak jauh tapi kamu begitu gampangnya bilang kamu dekat ama kakak ketua di sanggar bagaimanapun susah buat ga cemburu dan ujung"nya ketidak kepercayaan itumuncul, kamu bilang kamu ada yang mau nembak kamu,ya karna itu juga kekanak"an ku muncul.. bagaimana bisa aku menjauhimu,jika dilihat ketika kamu benci orang itu tapi dia datang kamu membatu, tapi aku yang benar" tulus sayang amamu disini justru kamu minta untuk jauhi dirimu....biarlah waktu yang menjawabnya dan mengikuti arusnya angin..AKU AKAN MENYAYANGIMU DISINI WALAUPUN KAMU ADA YANG PUNYA NANTINYA.:(..LOVEyou u nella

Rabu, 16 April 2014

cerita singkat..curhat dikit diblog

hidup ini memang menyakitkan ntah apa rencana Tuhan buat keluarga kami ini dan buat kami anak yang blum pernah dapat kasih sayang yang sesungguhnya... ini cerita tanpa rekayasa dan dikurangin ataupun ditambah"kan... jujur skrg ini ga ada harapan buatku untuk hidup, itu sudah kurasakan sejak kecil ketika umurku pun msih belia...mendapat kasih sayang dari seorang ibu benar-benar belum pernah kurasakan,justru pertengkaranlah yang kulihat sejak aku sd.. haha.. melihat keluarga yang jalan bersama diwaktu luang benar-benar buat iri bahkan ga terima kenapa aku gak pernah dapat itu..sebagai anak laki-laki pertama dan menurut adat batak sebagai kepala keluarga kelak mempunyai beban yang berat dalam kondisi keluarga yang seperti ini,apabila aku hancur yah udah bapak pun ga ada semangat hidup lagi,itulah kata sibapak,sungguh jadi motivasi tetapi juga jadi beban psikologi buatku bahkan tekanan bathin da..terkadang akupun nyaris kehilangan akal yang sehat untuk ambil tindakan yang bodoh mengakhiri hidup yang ga jelas ini...selalu aja semua pada menjauh bahkan dianggap sebelah mata ... terkadang hal itulah yang memunculkan pikiranku untuk apa hidup,toh kan semua pada menjauh,waktu sibapak jadi manager aja kalian semua mendekat,jadi penjilat kalian semua...tiba mulai dari nol kalian tidak ada yang mengulurkan tangan kalian setidaknya bertanya kabar kami disini... akupun sayang ama orang sekarang pun dia menjauh,kapan aku benar-benar menemukan orang yang benar-benar sayang samaku..aku sayang ama mu Nella,mencintaimu,kapan kamu sadar itu...sikapku seperti ini memang aku gitu bentuk pehatiannya,ok kamu jenuh karna sikapu ya keanak-anakan..tapi ketahuilah itu karna ketulusanku menyayangimu sayangg..:( hanya butuh orang yang bisa membangkitkan semangat hidupku kembali.. maaf gak tersusun secara sistematis tulisanku

Selasa, 15 April 2014

Jokowi dan PDIP Dinilai Berkiblat ke AS

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kritik atas pertemuan antara Megawati dan Jokowi dengan sejumlah duta besar asing terus mengundang kritik. Pengamat politik Agung Suprio menilai, langkah Jokowi dan PDIP menunjukkan arah politik mereka yang berkiblat ke barat, khususnya Amerika. Selain pertemuan dengan Dubes Amerika pada pekan ini, Megawati juga sempat menginjakkan kaki ke Istana Presiden saat bertemu Presiden Amerika, Barack Obama. Padahal, sejak kalah di pemilu 2004 dan 2010, Mega pantang menginjakkan kaki ke Istana dan berada satu tempat dengan Presiden SBY. Namun saat ada Presiden Amerika di Istana, Mega pun mengubah sikapnya. "Ini adalah //blunder positioning//. PDIP adalah partai oposisi yangg kerap bersebrangan dengan kebijakan penguasa yang notabene presidennya berkiblat ke Amerika. Sekarang PDIP justru partai yang pertama berkiblat ke Amerika untuk membahas cawapres," kata Agung Suprio, kemarin. Dia pun mengatakan bahwa sikap Mega dan Jokowi yang berkiblat ke asing sudah menyalahi prinsip politik Bung Karno. Sebelumnya, eks Duta besar Amerika untuk Indonesia, Scot Marciel, pernah melontarkan pujiannya pada Jokowi. saat masih menjabat sebagai Dubes, Scot mengaku Jokowi adalah gubernur yang penuh ide dan gagasan. "Kami mendukung segala hal yang dilakukan Gubernur," ujar Scot selepas bertemu Jokowi di Jakarta, pada Januari 2013. Amerika memang punya banyak kepentingan di Indonesia. salah satu kepentingan Amerika adalah tambang emas dan tembaga mereka di Freeport, Papua.
Jokowi di Mata Israel Rabu, 16 April 2014, 05:30 WIB Jokowi REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sepak terjang Jokowi ternyata juga dipantau Israel. Laman Israel tak henti menyorot segala macam berita tentang Gubernur Jakarta itu. Laman Israelforeignaffairs.com, misalnya tak ketinggalan memotret perjalan Jokowi di peta perpolitikan nasional. Laman Israel itu mengutip sepak terjang Jokowi dari sejumlah media asing dan media Indonesia. Ada sekitar 25 berita yang terkait soal Jokowi di laman Israel itu. Uniknya, berita soal Jokowi baru intensif jadi sorotan laman itu sejak bulan Maret, atau hampir bersamaan dengan waktu pencapresan Jokowi oleh PDI Perjuangan. Jokowi pun diportet secara positif dalam berita yang dikutip oleh laman Israel itu. Beberapa berita Jokowi yang dikutip laman Israel itu di antaranya berjudul, "Pencapresan Gubernur Jokowi Riuhkan Politik Indonesia" dan "Jokowi: Penggemar Metal yang Diunggulkan Jadi Presiden Indonesia." Tak hanya Jokowi yang mendapat sorotan dari media itu. Sejumlah berita terkait tokoh politik nasional pun tak luput dikutip oleh laman Israelforeignaffairs.com. Namun porsi sorotan pada Jokowi menyita perhatian terbanyak. Bukan hanya sebatas media, perwakilan Israel pun intensif menjalin kontak dengan tokoh politik Indonesia. Salah satu tokoh yang pernah menjalin kontak dengan Israel adalah petinggi Partai Nasdem, Ferry Mursyidan Baldan. Kini Ferry bersama Partai Nasdem-nya menjalin koalisi untuk meloloskan Jokowi sebagai presiden Indonesia.
dengar buat kamu yang disana yang sangat jauh jarak kita..aku sangat merindukan dan menyayangi mu..mengertilah....
pembuatan blog ini mencoba untuk mengkaji hukum dan memberikan informasi mengenai hukum... Kategori HUKUM ACARA PIDANA Nov 26 2011 PENYAMPINGAN PERKARA BAB I DEPONERING (PENYAMPINGAN PERKARA) 1. Pengertian Deponering (Penyampingan Perkara) Penyampingan perkara (deponering) yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Pasal 32 huruf e Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”. Dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c disebutkan: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuna ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai hubungan dengan masalah tersebut”. Kemudian dalam KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung”. Kejaksaan dalam konteks Hukum Acara Pidana Indonesia disebut sebagai Dominnus Litis (badan yang berhak mengadakan penuntutan). Dari hak penuntutan tersebut, muncul apa yang dikenal dengan Asas Legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan Asas Opportunitas (opportuniteit beginsel) yang menurut A.Z. Abidin Farid dirumuskan sebagai asas hukum yang memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum. Dalam kontek penyampingan perkara (Deponering) pada Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, mengandung unsur-unsur yang terdiri dari: 1. Tugas dan wewenang Jaksa Agung, b. Tindakan penyampingan perkara, c. Alasannya demi kepentingan umum. Jelas disebutkan dalam Undang-undang kejaksaan, bahwa Jaksa Agung sebagai penuntut umum tertinggi. Hak Jaksa Agung termasuk dalam penyampingan perkara (Deponering) merupakan wewenang tunggal di tangan Jakasa Agung. Ini dimaksudkan agar tetap menjamin untuk sejauh mungkin tidak disalahgunakan. Jaksa Agung dalam pengambilan keputusan tersebut senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut. BAB II PERBEDAAN DEPONERING DAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN Terkait dengan pembahasan Deponering, tak akan terlepas dari pembahasan masalah penghentian penuntutan oleh kejaksaan (penerbitan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan/SKPP). Maka harus kita tekankan akan perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara (deponering). Berikut ini adalah beberapa hal yang membedakan antara deponering dan penghentian penuntutan: 1. Penyampingan perkara. Perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’. Deponering ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung langsung. 1. Penghentian Penuntutan. Alasan penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan tesebut diantaranya: 1. Ditutup dem kepentingan hukum • Karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, tidak terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan. 1. Ditutup demi hukum Apabila dijumpai suatu tindakan pidana yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa hak kejaksaan untuk menuntut tindak pidana tersebut gugur, maka tindak pidana tersebut haurs ditutup demi hukum. Ini disebutkan karena: • “Nebis in idem” Pasal 76 KUHAP), Terdakwa meniggal (Pasal 77 KUHAP), Telah lewat waktu (Pasal 78 KUHAP), Penyelesaian di luar proses (Pasal 82 KUHAP), Abolisi dan Amnesti. Disamping perbedaan dasar alasan yang telah diungkapkan di atas, terdapat perbedaan prinsipil antara deponering dengan penghentian penuntutan perkara: • Deponering satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan. • Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum. Penghentian penuntutan dapat diajukan upaya hukum dalam proses praperadilan (Pasal 77-81 KUHAP). Jika Deponering dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh jaksa pada lingkup kejaksaan RI. BAB III ANALISIS KASUS BIBIT-CHANDRA Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan hak opportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik. Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam mengenyampingkan perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara. Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang dialami oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat. hal tersebut terlihat jelas hingga adanya akun pada salah satu situs jejaring social yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut. Kasus tersebut selanjutnya ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam situs resmi liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya: 1. Pada awalnya, proses pemeriksaan terhadap dugaan adanya penyuapan dan/atau pemerasan pemerasan dalam kasus Chandra dan Bibit adalah wajar (tidak ada rekayasa) berdasarkan alasan-alasan: 1) Testimoni Antasari Azhar 2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar 3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK 4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009 5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura 6) Keterangan Ari Muladi. b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan: 1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro; 2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra. c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga mengusulkan beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut: 1. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian; 2. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau 3. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini. Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP. Sayangnya SKPP tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang seharusnya diajukan oleh Kejaksaan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut berbuntut pada praperadilan yang diajukan oleh Anggodo. Dikarenakan alasan penerbitan SKPP lemah, maka SKPP itu dibatalkan oleh hakim Praperadilan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Ketika Kejaksaan banding, Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan PN Jakarta Selatan atau memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai, artinya, kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun kejaksaan Agung masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung yang akhrinya Mahkama Agung memutuskan tidak berwenang mengadili permohon PK tersebut. Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh kejaksaan. tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke pengadilan. Pendapat lain yang mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau SKPP jilid dua. Akhir Oktober 2010, keputusan Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi melakukan deponering atas kasus dugaan penyalahgunaan wewenang Bibit-Chandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta, Jumat (29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undang-undang, terhadap kasus yang menuai perhatian publik itu. Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah sudah tepat deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit dan Chandra?. Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena keduanya adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya. Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi. Problematika yang muncul setelah putusan penerbitan deponering oleh Jaksa Agung ialah, secara tidak langsung hal itu mengandung pengakuan bahwa Bibit-Chandra adalah orang yang diduga telah melakukan suatu tindak pidana dan bukti-bukti untuk itu telah lengkap sebagaimana yang ditegaskan oleh jaksa dalam surat dakwaan. Ini yang membedakan dengan SKPP yang dianggap tidak cukup bukti atau landasan hukum yang digunakan ternyata tidak kuat. Artinya, tidak ada kejahatan yang dilakukan. Sedangkan kasus Bibit-Chandra, oleh kejaksaan Agng diduga dan diakui ada serta cukup bukti, hanya saja perkaranya “dikesampingkan” demi “kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas”. Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, Tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan, selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang “dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya. Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga dan diakui sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata masyarakat luas. Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini apakah dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu judicial review pada Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian berakhir pada pemberhnetian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh wakilnya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono. Sebagaian praktisi hukum Indonesia beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat mengambil keputusan yang strategis termasuk deponering. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas budi antara KPK dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden. Harus diakui keputusan kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak langsung menampakkan ketidakpatuhan kejaksaan atas putusan praperadilan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang kejaksaan yang memiliki hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra ini kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering. Dari uraian panjang di atas, saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh Kejaksaan dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai kejaksaan di mata masyarakat. Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering sampai presiden menunjuk Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih mematuhi putusan PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap pengadilan. Jika alasannya dapat mengakibatkan KPK tidak dapat menjalankan tugas dengan maksimal, saya rasa KPK masih tetap dapat menjalankan tugas dengan dua petinggi KPK yang lain. Tinggal bagaimana kredibilitas kejaksaan dan pengadilan dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan. Dalam artian, jika keduanya terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti. Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia. BAB IV KESIMPULAN Deponering atau mengkesampingkan perkara tidak diatur secara jelas dalam KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam beberapa: Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c, Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung. Deponering berbeda dengan penghentian penuntutan (SKPP), jika deponering danggap telah cukup bukti dan harus dikesampingkan karena alasan ‘demi kepentingan umum’, maka secara rinci hal penghentian penuntutan dilakukan dengan 2 alasan: ditutup demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan ditutup demi hukum dikarenakan hal-hal yang terjadi sesuai dengan pada Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 , Pasal 82 KUHAP, Abolisi dan Amnesti serta dapat dilakukan upaya praperadilan sedangkan deponering tidak. Terkiat kausus Bibit-Chandra, SKPP Kejaksaan dianggap lemah mengakibatkan praperadilan yang diajukan Anggodo dimenangkannya dengan putusan diteruskan kasus tersebut ke pengadilan. Kejaksaan akhirnya mengeluarkan putusan deponering dengan alasan demi kelancaran proses dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja hal ini malah menimbulkan pro-kontra karena secara etis petinggi KPK tidak memiliki status pasti yang jelas dimata masyarakat apakah bersalah atau tidak. Sehingga adabaiknya kasus ini diteruskan ke pengadilan dan diproses seadil-adilnya dan sebenar-benarnya agar kredibilitas para aparatur penegak hukum tidak diciderai kembali dan dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia. DAFTAR PUSTAKA Hamzah, Andi. 2007, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika. RM, Soharto. Penuntutan dalam Praktek Peradilan KUHAP Lengkap. 2008, Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. 2009, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika. Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. http//:www.Liputan6.com http://yusril.ihzamahendra.com http//:www.sinarharapan.com http//:www. Yustisi.com By ifalatifafitriani Nov 26 2011 UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN BEBAS (VRIJSPRAAK) ATAU LEPAS (ONSLAG VAN RECHT VERVOLGING) Berdasarkan KUHAP di Indonesia jelas akan kita lihat keanehan terkait masalah upaya hukum biasa terkait putusan bebas (vrijspraak) atau pada putusan lepas (onslag van recht vervolging). Dalam KUHAP pasal 67 terkait upaya hukum banding, secara yuridis normatif terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat dilakukan upaya banding. Terkait masalah kasasi, diatur dalam pasal 244 KUHAP yang secara yurisdiksi normatif menutup kemungkinan penuntut umum mengajukan kasasi pada putusan bebas. Namun pada kenyataannya, pasal ini dinafikkan “contra legem” dengan adanya Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP. Keputusan ini dibarengi dengan lampiran. Pada angka 19 Lampiran tersebut terdapat penegasan berikut: (i) terhadap putusan bebas tidak dapat dimintakan banding; (ii) tetapi berdasarkan situasi dan kondisi, maka demi hukum, kebenaran dan keadilan, terhadap putusan bebas dapat dimintakan kasasi. Hal ini akan didasarkan pada yurisprudensi. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimana dengan putusan lepas (onslag van recht vervolging) apakah dapat diajukan kasasi dengan menggunkan acuan Pasal 244 KUHAP?. Sedangkan terhadap putusan bebas dapat diajukan kasasi dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?. Dari yang penulis pahami, terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat diajukan kasasi menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat diajukan kasasi. Sedangkan terkait kasasi atas putusan bebas dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP angka 19, dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni. Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain: 1) Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”. Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur terkait keputusan menteri dapat mengganti undang-undang, undang-undang hanya dapat diganti dengan peraturan pengganti undang-undang. Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya. Tegasnya dalil hukum yang dijadikan dasar oleh penuntut umum untuk selalu memajukan kasasi terhadap “putusan bebas”, di samping bertentang dengan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-undangn di Indonesia, juga bertentang dengan Asas Hukum Universal yaitu, Lex superior derogat legi inferiori (asas yang menegaskan bahwa hukum yang lebih tinggi kedudukannya mengesampingkan hukum yang lebih rendah kududukannya ).